Ahad 14 Jan 2024 12:49 WIB

Suara Dokter Lulusan Indonesia yang Bertahan di Gaza Utara

Kondisi rumah sakit-rumah sakit di Gaza Utara sangat sulit

Warga berjalan kaki saat melakukan evakuasi di Jalur Gaza Utara, Ahad (5/11/2023).
Foto: EPA-EFE/MOHAMMED SABER
Warga berjalan kaki saat melakukan evakuasi di Jalur Gaza Utara, Ahad (5/11/2023).

REPUBLIKA.CO.ID,

Laporan Wartawan Republika Achmad Syalabi Ichsan dari Kairo, Mesir

KAIRO -- Gaza bagian utara hancur lebur karena terus dibombardir Israel. Dokter lulusan Fakultas Ilmu Kedokteran Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, dr Mohammed, mengatakan, sebanyak 90 persen, warga Gaza Utara sudah pindah ke selatan.

Mohammed yang mendapat beasiswa pendidikan kedokteran dari Bulan Sabit Merah Indonesia (BSMI) ini mengatakan, meraka yang tinggal di utara sedang menempati tempat-tempat penampungan setelah pindah dari beberapa tempat. “Kehidupan disini tidak layak untuk dihidupkan oleh manusia,” ujar Mohammed melalui pesan tertulis kepada Republika di Kairo, Mesir, Ahad (14/1/2023).

 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 

A post shared by Republika Online (@republikaonline)

Saat ini, dokter Mohammed bertugas sebagai koordinator medis di Asosiasi Emergency Al-Fursan Palestina (FPEA). Selama perang, FPEA berupaya untuk melengkapi berbagai kebutuhan medis semua rumah sakit di Gaza. Menurut Mohammed, pihaknya menyampaikan amanah bantuan beberapa mitra kerjasama dari Indonesia, termasuk BSMI, untuk rumah sakit-rumah sakit di Gaza seperti Rumah Sakit Kamal Adwan, Rumah Sakit Indonesia, Rumah Sakit Al-Shifa hingga Rumah Sakit Al-Awda.

Dia menjelaskan, RS Kamal Adwan sekarang menjadi pusat fasilitas medis di Gaza Utara, setelah RS Indonesia tidak bisa beroperasi. “Sehingga kami mensupport rumah sakitnya dengan tim ambulans, tenaga medis IGD dan berusaha dengan beberapa mitra kerja sama agar melengkapi kebutuhan tim sehingga bisa karma dengan maksimal,” kata dia.

Dia mengatakan, kondisi rumah sakit-rumah sakit di Gaza Utara sangat sulit. Hanya ada dua rumah sakit yang masih beroperasi atau diupayakan bisa berjalan semaksimal mungkin. Tidak ada kebutuhan dasar untuk menjalankan rumah sakit. Mereka tidak mendapatkan bahan bakar yang dibutuhkan untuk operasional. Kalaupun ada, ujar Mohammed, harganya sangat mahal.

Dia menjelaskan, tidak ada ketersediaan medis ataupun obat-obatan untuk menjalankan ruang operasi. “Akhir-akhir ini, kami berusaha agar membantu menjalankan rumah sakit di Gaza Utara dengan bahan bakar, tenaga medis dan suplai medis namun itu butuh dukungan dan dana yang besar.'' 

Menurut Mohammed, banyak tenaga medis juga menjalankan tugasnya tanpa digaji. Mereka sudah tiga bulan tidak mendapatkan gaji bahkan roti untuk menafkahi keluarga masing-masing. Untuk menjalankan kehidupan di Gaza Utara, mereka harus menanggung risiko yang besar karena bisa sewaktu-waktu ditangkap Israel akibat kerja di rumah sakit seperti yang dialami oleh banyak tenaga medis. 

“Kami sebagai tim medis di asosiasi memilih untuk tetap di Gaza Utara di saat tenaga medis lain terpaksa untuk meninggalkan tempat ini. Kami harus menyampaikan pesan moral kami yaitu setiap jiwa berhak untuk mendapat pertolongan,” kata Mohammed.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement