REPUBLIKA.CO.ID, KAIRO -- Menteri Luar Negeri Cina, Wang Yi, mengatakan Cina menyerukan pertemuan perdamaian internasional skala besar yang lebih otoritatif dan efektif untuk mengakhiri perang Gaza. Beijing juga mendorong kerangka waktu yang konkret untuk mengimplementasikan solusi dua negara.
Pernyataan ini disampaikan setelah bertemu Menteri Luar Negeri Mesir Sameh Shoukry di Kairo. Dalam pernyataannya, Kementerian Luar Negeri Cina mengatakan Wang membagikan pandangannya mengenai perang Israel di Gaza.
Secara terpisah, Wang juga bertemu dengan Sekretaris Jenderal Liga Arab Ahmed Aboul Gheit dimana kedua belah pihak berbagi pandangan mendalam mengenai konflik tersebut. Dalam pertemuan itu mereka meraih beberapa poin untuk membantu mengatasi krisis.
Wang saat ini sedang berkeliling Mesir, Tunisia, Togo dan Pantai Gading dalam rangkaian kunjungan diplomatik yang berlangsung hingga Kamis (18/1/2024). "Perang Gaza menyebabkan jatuhnya banyak korban di kalangan warga sipil tak berdosa, yang mengarah pada bencana kemanusiaan yang serius dan mempercepat penyebaran efek limpahan negatif," kata Wang usai bertemu Shoukry, seperti dikutip pernyataan Kementerian Luar Negeri Cina, Selasa (15/1/2024).
Wang mengatakan infrastruktur Jalur Gaza benar-benar hancur, jutaan orang kesulitan bertahan hidup. Ia mengatakan Cina memutuskan untuk mengirimkan bantuan kemanusiaan tahap ketiga.
Wang juga mengatakan, masyarakat internasional harus mendengarkan kekhawatiran sah negara-negara di kawasan. "Dan masa depan tata kelola Gaza harus menjadi tahapan penting menuju solusi dua negara," katanya.
Media Cina melaporkan dalam pertemuan terpisah dengan Ahmed Aboul Gheit, kedua belah pihak sepakat masyarakat internasional harus mengambil tindakan untuk menurunkan ketegangan dan meraih gencatan senjata secepat mungkin. "Khususnya negara-negara berpengaruh, perlu memainkan peran yang obyektif, tidak memihak, dan konstruktif dalam hal ini," kata kedua belah pihak dalam pernyataan bersama yang dilaporkan kantor berita Xinhua.
Keduanya menekankan solusi dua negara tetap menjadi dasar 'untuk pengaturan masa depan mengenai nasib rakyat Palestina di Jalur Gaza dan Tepi Barat, termasuk Yerusalem Timur.'