REPUBLIKA.CO.ID, GAZA -- Shahinaz Bakr, seorang pengungsi Palestina yang bernaung di dekat perbatasan Mesir, tampak sibuk merajut topi wol untuk salah satu cucunya di tenda yang mereka dirikan di bawah langit terbuka Kota Rafah, Jalur Gaza selatan. Bakr, yang mengungsi dari kawasan Sheikh Radwan di Kota Gaza ke Rafah, mendapatkan benang wol dengan merobek pakaian sweater usang milik keluarganya.
Nenek tersebut juga didatangi oleh pengungsi lain di kamp itu untuk membeli beberapa produk wolnya karena mereka tidak dapat menemukan pakaian untuk anak-anak mereka atau tidak dapat membelinya karena perang yang sedang berlangsung, selain harga yang mahal.
Kepada Anadolu, Bakr berujar mengerjakan rajutan wol adalah salah satu hobi favoritnya yang ternyata sangat berguna saat ini. "Saya mendapatkan wol dari sweater usang atau pakaian rusak dan sobek yang dibuang tetangga," ujarnya.
Sang nenek itu mengakui bahwa para pengungsi di kamp memintanya untuk merajut beberapa helai wol untuk melindungi anak-anak mereka dari cuaca dingin ekstrem yang menambah penderitaan mereka. Dalam perjalanan pengungsiannya dari Kota Gaza, Bakr mengatakan keluarganya sebelumnya tinggal di lingkungan Sheikh Radwan sebelum pecahnya perang antara Israel dan Palestina pada 7 Oktober.
“Sejak dimulai perang, tentara mulai menargetkan daerah tersebut dengan serangan udara yang gencar,” katanya.
Dia menambahkan tentara memperingatkan mereka untuk mengungsi ke arah selatan. Bakr menceritakan keluarganya mengungsi menuju ke selatan dengan berjalan kaki menggunakan rute Jalan Al-Bahr, di tengah kepanikan dan ketakutan yang menimpa anak-anak dan orang dewasa.
Kekurangan kebutuhan dasar
Para pengungsi yang mendiami kamp di Kota Rafah bahkan kekurangan kebutuhan dasar karena mereka dipaksa untuk meninggalkan rumah tanpa membawa pakaian sekali pun atau kebutuhan sehari-hari.
Sebagian besar pengungsi yang berada di sana juga mengalami kesulitan untuk membeli kebutuhan pokok atau pakaian baru karena perang, kekurangan uang, dan kenaikan harga barang-barang yang tersedia di pasar dan kondisi tersebut pernah terjadi sebelumnya.
Sejak pecahnya perang dahsyat di Jalur Gaza pada 7 Oktober, otoritas Israel mencegah masuknya barang ke wilayah tersebut dengan menutup rapat jalur penyeberangan di Jalur Gaza. Namun, pada 24 November lalu, Israel sempat mengizinkan sejumlah kecil bantuan kemanusiaan memasuki Jalur Gaza melalui penyeberangan Rafah, sebagai bagian dari jeda kemanusiaan selama sepekan antara faksi perlawanan di Gaza dan Israel, yang dicapai melalui mediasi Qatar-Mesir dan AS.
Jalur Gaza menerima sekitar 600 truk setiap hari untuk kebutuhan kesehatan dan kemanusiaan sebelum Israel melancarkan perang mematikan pada 7 Oktober. Namun, jumlah truk untuk kebutuhan kesehatan dan kemanusiaan tersebut menurun menjadi sekitar 100 truk per hari.
Israel telah melancarkan serangan udara dan darat tanpa henti di Jalur Gaza sejak serangan lintas batas oleh Hamas yang menurut Tel Aviv menewaskan 1.200 orang. Sementara menurut otoritas kesehatan Palestina, setidaknya 25.105 warga Palestina telah terbunuh, sebagian besar perempuan dan anak-anak, dan 62.681 orang terluka.
Serangan Israel juga telah menyebabkan 85 persen penduduk Gaza menjadi pengungsi di tengah kekurangan makanan, air bersih, dan obat-obatan, sementara 60 persen infrastruktur di wilayah kantong tersebut rusak atau dalam kondisi hancur.