Senin 22 Jan 2024 20:30 WIB

Eks Jenderal Israel: Perang Melawan Hamas di Jalur Gaza tak Bisa Dimenangkan

Israel disarankan mantan petinggi militernya untuk menerima kesepakatan.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Muhammad Hafil
Tentara Israel mengambil posisi di dekat perbatasan Jalur Gaza di Israel selatan, Senin, (11/12/2023).
Foto: AP Photo/Ohad Zwigenberg
Tentara Israel mengambil posisi di dekat perbatasan Jalur Gaza di Israel selatan, Senin, (11/12/2023).

REPUBLIKA.CO.ID,TEL AVIV – Mantan perwira dan Ombudsman Pasukan Pertahanan Israel (IDF) untuk Pengaduan Prajurit, Mayor Jenderal (Purnawirawan) Yitzhak Brik, mengatakan, Israel harus menerima kenyataan bahwa mereka tidak dapat memenangkan perang di Jalur Gaza. Dia berpendapat, satu-satunya pilihan yang tersedia bagi Israel adalah menerima kesepakatan pertukaran sandera dan tahanan dengan Hamas.

Dalam wawancara dengan saluran televisi Israel, Channel 12, Brik mengungkapkan, meskipun pasukan Israel sudah menghancurkan 1.100 bukaan terowongan Hamas di Gaza, masih terdapat ribuan terowongan tambahan dan ratusan kilometer di antaranya. Menurutnya, jika dilema itu tak diselesaikan, kemenangan atas Hamas tidak akan tercapai.

Baca Juga

Brik pun sempat ditanya apakah mengendalikan perbatasan dan Poros Philadelphia bisa menghasilkan kemenangan dalam pertempuran melawan Hamas. “Perang tidak dapat dimenangkan. Kita harus menghadapi kebenaran. Menurut pendapat saya, sangat sulit saat ini untuk melemahkan Hamas, dan hal yang paling mudah adalah adalah mendapatkan kembali mereka yang diculik,” jawab Brik merespons pertanyaan tersebut.

Poros Philadelphia, yang juga dikenal sebagai Poros Salah Al-Din, mengacu pada sebidang tanah di sepanjang perbatasan antara Mesir dan Jalur Gaza. Sementara itu, saluran Ibrani Kan 11, mengutip mantan kepala Mossad Tamir Pardo, turut membenarkan bahwa Israel tidak punya pilihan selain menerima kesepakatan pertukaran tahanan dengan Hamas.

Dia memperingatkan bahwa Israel harus memperbaiki kesalahan besar negaranya karena mengabaikan warganya dan mengkhianati mereka. “Jika pemerintah dan perdana menterinya memutuskan untuk meninggalkan orang-orang yang diculik, biarkan dia mengatakannya secara terbuka di depan publik,” ucap Pardo.

Awal bulan ini mantan perdana menteri Israel periode 2006-2009, Ehud Olmert, mengatakan, serangan dan operasi infiltrasi Hamas ke negaranya pada 7 Oktober 2023 lalu merupakan bukti dari kegagalan intelektual dan psikologis, bukan intelijen. Menurutnya, keangkuhan Israel membuka celah bagi terjadinya serangan tersebut.

“Saya yakin Israel memiliki semua informasi intelijen yang diperlukan untuk mengetahui apa yang terjadi. Bahkan ada peringatan nyata dari badan intelijen sahabat. Ini adalah kegagalan psikologis dan intelektual, bukan kegagalan intelijen,” kata Olmert ketika mengomentari serangan Hamas pada 7 Oktober 2023 dalam wawancara dengan surat kabar Spanyol, El Pais, yang diterbitkan pada 2 Januari 2024.

Dia berpendapat, Israel terlalu angkuh dan menganggap remeh kemampuan kelompok perlawanan Palestina. “Orang Israel sangat arogan dan mereka tidak percaya bahwa orang Palestina dapat melakukan apa yang mereka lakukan; bahwa mereka tidak cukup canggih atau bijaksana,” ucapnya.

Olmert juga kembali mengingatkan bahwa upaya melenyapkan Hamas dari Jalur Gaza akan sulit dilakukan. Dia mengatakan, Hamas memiliki 20 hingga 30 ribu anggota. Jika Israel bisa membunuh 10 ribu di antaranya, itu bakal menjadi kerugian besar bagi Hamas. “Tapi mereka (Hamas) mempunyai 20 ribu (anggota) lagi dan mereka akan merekrut lebih banyak lagi (anggota). Karena jika tidak ada masa depan politik, orang-orang akan berubah menjadi teroris,” ucapnya.

Olemert menyerukan agar pasukan Israel ditarik mundur dari Gaza. Setelah itu, upaya negosiasi untuk membebaskan orang-orang yang masih disandera Hamas perlu ditempuh. Menurutnya, Israel juga perlu berbicara dengan para sekutunya untuk mencari mitra yang dapat mengambil kendali sementara atas Gaza guna memulihkan stabilitas di sana. Pada saat bersamaan, tambah Olmert, Otoritas Palestina harus dipersiapkan untuk menjalankan pemerintahan di Gaza menggantikan Hamas.

Dia kemudian melayangkan kritik terhadap Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu. Olmert berpendapat, Netanyahu hidup dalam gelembung dan telah kehilangan kontak dengan kenyataan. “Dia (Netanyahu) harus pergi. Ketidakpercayaan terhadap Netanyahu semakin meningkat. Setiap hari, semakin banyak warga Israel yang memahami bahwa dia bukanlah solusi. Dialah masalahnya,” kata Olmert.

Olemert mengungkapkan, Netanyahu menolak membahas tentang masa depan Gaza pasca perang. Hal itu karena Netanyahu terjebak di antara dua kepentingan. “Jika dia mengatakan apa yang benar-benar dia yakini, hal itu akan ditolak oleh komunitas internasional. Jika dia mengatakan apa yang komunitas internasional ingin dia katakan, dia akan kehilangan pemerintahannya,” ujarnya.

Saat ini perang Israel-Hamas masih berlangsung di Gaza. Lebih dari 25 ribu warga Gaza sudah terbunuh sejak Israel meluncurkan agresinya pada 7 Oktober 2023. Sebagian besar dari korban meninggal adalah perempuan dan anak-anak. Sementara korban luka melampaui 62 ribu orang.

Menurut PBB, 85 persen penduduk Gaza telah menjadi pengungsi di tengah kekurangan makanan, air bersih, dan obat-obatan. Sementara 60 persen infrastruktur di wilayah tersebut, termasuk di dalamnya fasilitas kesehatan dan rumah sakit, rusak atau hancur. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement