Rabu 24 Jan 2024 08:37 WIB

Khamenei Lebih Pilih Putuskan Hubungan dengan Israel Timbang Gencatan Senjata

Para pejabat negara-negara Islam seharusnya bertindak.

Rep: Kamran Dikarma / Red: Setyanavidita livicansera
Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei berbicara dalam sebuah upacara di Teheran, Iran, (23/12/2023).
Foto: EPA-EFE/SUPREME LEADER OFFICE HA
Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei berbicara dalam sebuah upacara di Teheran, Iran, (23/12/2023).

REPUBLIKA.CO.ID, TEHERAN – Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei meminta negara-negara Muslim berhenti menyerukan gencatan senjata di Jalur Gaza. Dia menilai, penghentian pertempuran berada di luar kendali mereka. Sebagai langkah pengganti, Khamenei mendorong negara-negara Muslim memutuskan hubungan dengan Israel.

“Beberapa posisi dan pernyataan pejabat negara-negara Islam salah karena mereka berbicara tentang isu-isu seperti gencatan senjata di Gaza, yang berada di luar kendali mereka dan berada di tangan musuh jahat Zionis,” kata Khamenei, Selasa (23/1/2024), dilaporkan kantor berita Iran, Islamic Republic News Agency (IRNA).

Baca Juga

Dia menambahkan, para pejabat negara-negara Islam seharusnya bertindak atas isu-isu yang berada dalam kendali mereka. “Masalah yang ada di tangan mereka adalah memutus jalur vital menuju rezim Zionis. Negara-negara Islam harus memutuskan hubungan politik dan ekonomi mereka dengan rezim Zionis dan tidak membantu rezim ini,” ujar Khamenei.

Ini menandai keempat kalinya Khamenei menyerukan negara-negara Muslim untuk memutuskan hubungan dengan Israel sejak pecahnya perang antara Israel dan Hamas yang berbasis di Gaza pada 7 Oktober 2023. Israel memang memiliki hubungan resmi dengan beberapa negara Muslim, antara lain Yordania, Mesir, Uni Emirat Arab (UEA), Bahrain, Sudan, dan Maroko. Normalisasi diplomatik dengan empat negara terakhir tercapai pada 2020 berkat mediasi Amerika Serikat (AS) di bawah pemerintahan Donald Trump.

Sementara itu, Pemerintah AS mengatakan, mereka masih terus berusaha mendorong normalisasi diplomatik antara Arab Saudi dan Israel. Hal itu disampaikan ketika Saudi sudah menyatakan bahwa normalisasi tidak akan bisa dicapai tanpa kemerdekaan Palestina.

"Kami sedang mengerjakannya normalisasi Saudi-Israel dengan sangat keras sebelum serangan Hamas ke Israel pada 7 Oktober 2023. Kami masih mengerjakannya dengan keras. Dan kami mendapat tanggapan positif dari mitra-mitra di kawasan ini, termasuk Arab Saudi," kata Juru Bicara Dewan Keamanan Nasional AS John Kirby kepada awak media di Gedung Putih, Senin (22/1/2024), dikutip Anadolu Agency.

“Hal ini dapat membuka peluang tambahan untuk mencoba mencapai konstruksi dua negara yang masuk akal,” tambah Kirby. Dalam wawancara dengan CNN pada Ahad (21/1/2024) lalu, Menteri Luar Negeri Arab Saudi Pangeran Faisal bin Farhan sempat ditanya apakah tidak akan ada normalisasi dengan Israel tanpa kemerdekaan Palestina. “Itulah satu-satunya cara kita memperoleh keuntungan. Jadi, iya,” jawab Pangeran Faisal.

Saat menghadiri Forum Ekonomi Dunia pekan lalu, Pangeran Faisal sudah menyampaikan hal serupa. Dia mengatakan, negaranya siap mengakui eksistensi Israel jika Palestina menjadi negara merdeka.

Menurutnya, kemerdekaan Palestina akan membuka jalan bagi terciptanya perdamaian di kawasan. “Kami sepakat bahwa perdamaian regional mencakup perdamaian bagi Israel. Namun hal itu hanya dapat terjadi melalui perdamaian bagi Palestina melalui negara Palestina,” kata Pangeran Faisal saat berpartisipasi dalam pertemuan Forum Ekonomi Dunia, Selasa (16/1/2024).

Ketika ditanya apakah Arab Saudi akan mengakui Israel sebagai bagian dari perjanjian politik yang lebih luas, Pangeran Faisal menjawab, “Tentu saja.”Dia menambahkan, menjaga perdamaian regional melalui pembentukan negara Palestina adalah sesuatu yang sudah Saudi kerjakan bersama pemerintah AS. “Dan ini lebih relevan dalam konteks Gaza,” ujarnya.

Pangeran Faisal mengatakan, ada jalan menuju masa depan yang lebih baik bagi kawasan, bagi Palestina, dan bagi Israel, yaitu perdamaian. Dia menegaskan, Saudi berkomitmen penuh untuk mewujudkan hal tersebut. “Gencatan senjata di semua pihak harus menjadi titik awal bagi perdamaian permanen dan berkelanjutan, yang hanya dapat terjadi melalui keadilan bagi rakyat Palestina,” ucap Pangeran Faisal.

Sementara itu dalam konferensi pers yang disiarkan secara nasional pada Kamis (18/1/2024) pekan lalu, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu secara terbuka menolak solusi dua negara. “Dalam pengaturan apa pun di masa depan, Israel memerlukan kontrol keamanan atas seluruh wilayah, di sebelah barat Sungai Yordan. Ini bertentangan dengan gagasan kedaulatan untuk Palestina. Apa yang bisa Anda lakukan?” ucap Netanyahu.

“Perdana menteri harus mampu untuk mengatakan tidak kepada teman-teman kita,” kata Netanyahu seraya menambahkan bahwa dia sudah menyampaikan penolakannya terkait solusi dua negara kepada para pejabat AS. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement