REPUBLIKA.CO.ID, DOHA- Saat militer merebut kekuasaan pada Februari 2021 lalu, Dr Ye menjalani kehidupan yang hanya dapat diimpikan anak muda Myanmar yaitu bekerja sebagai dokter di London. Berasal dari keluarga pro-militer dia tidak memiliki banyak opini pada politik saat itu.
"Sebelum kudeta, mereka mencuci otak saya, kudeta menyadarkan saya," kata dokter berusia 32 tahun itu pada Aljazirah, Rabu (1/2/2024).
Namun dia merasa meninggalkan para penyintas dengan rasa bersalah. Dari jauh dia melihat ratusan orang yang berusia sama dengannya dan lebih muda lagi ditembak di jalan selama unjuk rasa damai pro-demokrasi.
Tak lama kemudian unjuk rasa berubah menjadi pemberontakan bersenjata, militer mengerahkan pasukan terhadap warga sipil.
"Untuk sementara saya mendonasikan uang, tapi saya tidak senang dengan itu, setiap pagi saat bangun, saya depresi melihat berita tentang pembunuhan, pengeboman, pembakaran desa," katanya.
Di titik terendahnya Dr Ye bahkan mencoba mengakhiri hidupnya. "Saya memutuskan untuk pulang dan berpartisipasi langsung dalam revolusi," katanya.
Pada April 2022 dia terbang ke Negara Bagian Kayah yang berbatasan dengan Thailand. Koalisi kelompok bersenjata anti-kudeta menguasai banyak wilayah di sana dan di negara bagian tetangga, Shan.
Keputusan Dr Ye untuk pindah ke "area pembebasan" menyebabkan keretakan di keluarganya. Karena ayahnya pejabat departemen pemasyarakat rezim berkuasa di Naypyidaw.
"Kami benar-benar berpisah, kami tidak saling berbicara lagi, saya pikir ia tidak akan pernah mengubah pemikirannya," kata Dr Ye.