Kamis 01 Feb 2024 23:21 WIB

Dokter-dokter Myanmar Selamatkan Nyawa Para Pejuang Pro-Demokrasi

Para dokter terketuk melihat korban dari pejuang pro demokrasi

Rep: Lintar Satria / Red: Nashih Nashrullah
Foto yang disediakan oleh Kelompok Aktivis Kyunhla ini menunjukkan setelah serangan udara di desa Pazigyi di Kotapraja Kanbalu, Wilayah Sagaing, Myanmar, Selasa (11/4/2023). Saksi dan laporan media independen mengatakan puluhan penduduk desa di Myanmar tengah tewas dalam serangan udara dilakukan Selasa oleh pemerintah militer negara Asia Tenggara itu.
Foto:

Ayahnya bahkan mengancam akan menangkapnya. Latar belakangnya sebagai dokter anak membuat keberadaan Dr Ye sangat bernilai untuk mengobati anak-anak yang terpaksa mengungsi karena konflik tapi seperti semua profesional medis di Kayah ia juga menjadi petugas medis perang sementara.

"Saya harus menstabilkan tanda-tanda vital, memeriksa tekanan darah dan detak jantung," katanya.

Dia menerima pasien yang terluka dalam konflik. Ketika pejuang pemberontak yang terluka serius di kaki kanannya karena serangan udara dilarikan ke kliniknya di timur Demoso, Dr May harus bekerja meski pesawat perang terbang di atas kepalanya.

"Kami dapat mendengar suara pesawat tempur terbang di atas kami, tapi kami tidak bisa lari kemana-mana karena kami harus menyadarkan prajurit, jadi kami bertahan di sana dan menerima apa pun yang akan datang," kata dokter berusia 33 tahun yang sebelum kudeta bekerja sebagai dokter umum di rumah sakit swasta di Mawlamyine.

"Saya bisa bekerja di rumah sakit swasta lagi atau keluar negeri tapi bila melakukan itu saya merasa tidak melaksana tugas untuk negara saya, untuk rakyat saya," katanya.

Di paruh pertama 2023, timur Demoso salah satu zona konflik paling mematikan di Myanmar. Dr May harus tidur di tempat perlindungan bom.

"Setiap hari saat saya bangun, saya mendengar suara artileri dan terkadang di pukul 2 atau 3 pagi, kami mendengar pesawat jet terbang di atas kepala kami, kami benar-benar hidup di bawah tanah di bunker, kami harus tidur di sana, kami harus makan di sana karena kami tidak lagi merasa aman di permukaan," katanya.

Pada 4 Januari lalu timur Demoso sangat hening. Pejuang sudah piindah ke Loikaw, ibukota negara bagian tapi beberapa warga sipil pulang, meninggal area itu kosong.

Dr May mengatakan militer mengincar fasilitas kesehatan karena tahu pejuang pemberontak menerima perawatan di sana. Meski warga sipil juga mengandalkan fasilitas kesehatan itu untuk perawatan yang dapat menyelamatkan nyawa.

"Karena kami merawat kamerad-kamerad kami, termasuk korban luka perang dan itu tidak baik untuk...," katanya berhenti sejenak.

"Anjing-anjing itu."

Sejak kudeta rakyat Myanmar merujuk pasukan rezim militer sebagai "anjing militer."

Konvensi Jenewa menyatakan "dalam kondisi apapun" fasilitas kesehatan dan unit kesehatan bergerak "tidak boleh diserang". Setelah berbulan-bulan nyaris celaka, rumah sakit Dr May dihantam serangan udara pada Mei 2023.

"Rasanya seperti saya tiba-tiba berada di medan perang, saya berada di dalam peti mati saya sendiri, semuanya berkelebat di depan mata saya," katanya.

Untungnya, tidak ada yang terbunuh, tetapi bangunan rawat inap hancur. Sejak itu rumah sakit Dr May pindah ke daerah yang lebih stabil di negara bagian tersebut dan Dr Ye mengatakan fasilitasnya juga telah berpindah tempat sebanyak tiga atau empat kali.

Dr Oak, yang melakukan otopsi pada para korban pembantaian pada malam Natal, mengatakan dia juga harus pindah dua kali. Pertama, sebuah rudal mendarat di sebelah rumah sakitnya di Nanmekhon, kota Demoso. Kali kedua, serangan udara menghantam fasilitasnya di kota Loikaw di bagian utara.

 

Dr Oak sedang beristirahat, menggunakan internet di kota, tetapi empat petugas medisnya terbunuh. Karena alasan ini, sebagian besar rumah sakit di Kayah tidak hanya tersembunyi tetapi juga dilengkapi dengan tempat perlindungan bom.        

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement