Rabu 21 Feb 2024 16:14 WIB

AS Ubah Retorika tentang Gencatan Senjata di Gaza

Rencana Israel menyerang di Rafah akan memperumit upaya penghentian pertempuran.

Rep: Lintar Satria/ Red: Gita Amanda
Selama berbulan-bulan Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden mendorong jeda pertempuran di Gaza. (ilustrasi)
Foto: EPA-EFE/DAVID BECKER
Selama berbulan-bulan Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden mendorong jeda pertempuran di Gaza. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Selama berbulan-bulan Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden mendorong jeda pertempuran di Gaza. Namun Israel justru bersiap menggelar serangan ke Rafah di mana lebih satu juta penduduk Gaza mencari perlindungan.

Kini Biden menggunakan kata "gencatan senjata sementara." Perbedaan retorika Ini terlihat kecil tapi menunjukan perubahan sikap Washington yang semakin mendekati apa yang diinginkan masyarakat internasional yaitu gencatan senjata permanen.

Baca Juga

AS memveto tiga rancangan resolusi Dewan Keamanan PBB tentang perang Israel-Hamas. Dua veto terbaru memblokir bahasa yang menuntut gencatan senjata kemanusiaan. Namun, Washington kini mengajukan rancangan resolusi sendiri yang mencantumkan kata "gencatan senjata".

Berdasarkan dokumen yang dilihat kantor berita Reuters, dalam rancangan resolusi tersebut AS menyerukan gencatan senjata sementara dalam perang Israel-Hamas terkait dengan pembebasan sandera yang ditawan Hamas dan menentang serangan darat besar-besaran yang dilakukan sekutunya, Israel, di Rafah.

Duta Besar AS untuk PBB Linda Thomas-Greenfield membantah adanya pergeseran bahasa. "Ini mencerminkan apa yang telah kami lakukan selama ini," katanya,  Selasa (20/2/2024).

Sebelumnya Washington menghindari kata gencatan senjata dalam setiap langkah PBB terhadap perang Israel di Gaza. Teks baru AS tersebut menggemakan bahasa yang digunakan Biden di depan umum bulan ini tentang situasi tersebut.

"Saya berusaha keras untuk menangani gencatan senjata penyanderaan ini karena, seperti yang Anda tahu, saya telah bekerja tanpa lelah dalam kesepakatan ini," kata Biden di Gedung Putih pada tanggal 8 Februari lalu ketika ia menyebut respon Israel di Gaza "keterlaluan," kritiknya yang paling tajam hingga saat ini.

Delapan hari kemudian, ia mengatakan ia mengadakan pembicaraan ekstensif dengan Netanyahu mengenai topik gencatan senjata. "Saya mengangkat kasus-dan saya merasa sangat kuat tentang hal ini - harus ada gencatan senjata sementara untuk mengeluarkan para tahanan, untuk mengeluarkan para sandera. Dan itu sedang berlangsung. Saya masih berharap hal itu dapat dilakukan," kata Biden pada 16 Februari.

Hal ini dibandingkan dengan penyebutannya tentang "jeda" ketika kesepakatan penyanderaan sebelumnya dinegosiasikan pada bulan November. "Saya ingin melihat jeda itu berlangsung selama para tahanan dibebaskan," katanya pada 26 November.

Para pejabat AS mengatakan perubahan bahasa yang dilakukan Biden tidak ada hubungannya dengan para pengkritiknya. Sebaliknya, kata mereka, hal ini mencerminkan upaya keras untuk menegosiasikan kesepakatan antara Israel dan Hamas untuk menghentikan pertempuran selama enam sampai delapan minggu dengan imbalan pembebasan sandera yang ditahan di Gaza dan mempercepat pengiriman bantuan kemanusiaan kepada warga sipil.

Menurut Gedung Putih jika pertempuran dapat dihentikan selama itu, gencatan senjata yang lebih lama lagi dapat terjadi. Namun, rencana Israel menyerang di Rafah akan memperumit upaya penghentian pertempuran.

Para pejabat AS bersikeras Biden tidak menyerukan gencatan senjata permanen, yang merupakan cerminan dari sikap awal AS bahwa Israel memiliki hak untuk mempertahankan diri setela Hamas membunuh 1.200 orang di Israel selatan pada tanggal 7 Oktober.

Peneliti senior di Carnegie Endowment for International Peace dan pakar Timur Tengah, Aaron David Miller mengatakan pergeseran retorika Biden tidak mencerminkan perubahan besar, namun mencerminkan keprihatinan pemerintah AS terhadap potensi serangan Rafah.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement