REPUBLIKA.CO.ID, RAFAH -- Kebutuhan akan kesepakatan yang memungkinkan percepatan bantuan kemanusiaan menjadi semakin mendesak seiring dengan meningkatnya peringatan akan kelaparan. Samantha Power, administrator Badan Pembangunan Internasional Amerika Serikat (USAID), mengatakan pada Senin (26/2/2024), Gaza membutuhkan lebih dari 500 truk bantuan per hari, dikutip dari Aljazirah.
Tetapi hanya menerima sekitar 85 truk dalam sepekan terakhir, meskipun ada peringatan dari PBB tentang “ konsekuensi bencana”. Hamas mengatakan pada hari yang sama bahwa kegagalan mengirimkan bantuan ke Gaza adalah aib bagi umat manusia yang tidak akan dihapuskan oleh sejarah.
Hamas juga mengecam Pemerintahan Biden karena memfasilitasi apa yang disebut PBB sebagai bencana buatan manusia. Satu bulan setelah Mahkamah Internasional mengeluarkan keputusan darurat bagi Israel untuk mencegah tindakan genosida di Gaza, Hamas mengatakan dunia “merupakan saksi atas meningkatnya kejahatan dan pelanggaran yang dilakukan pendudukan”.
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu telah berulang kali mengatakan bahwa bahkan jika kesepakatan tercapai, hal itu hanya akan menunda invasi darat ke Rafah, kota paling selatan di Gaza yang berbatasan dengan Mesir di mana 1,4 juta warga Palestina berlindung, yang sebagian besar telah menjadi pengungsi.
Serangan pun terus berlanjut pada Selasa (26/2/2024). Pasukan Israel mengklaim telah membunuh puluhan pejuang Hamas di Kota Gaza ketika mereka menemukan fasilitas pembuatan senjata dan peluncur roket di terowongan, serta dalam pertempuran di wilayah tengah daerah kantong tersebut.
Bersamaan dengan dorongan untuk memenangkan kesepakatan mengenai proposal Paris, AS juga mencoba untuk meloloskan resolusi PBB yang menyatakan dukungan terhadap upaya diplomatik untuk “segera” mencapai kesepakatan “gencatan senjata sementara”.
Duta Besar AS untuk PBB Linda Thomas-Greenfield mengatakan dalam sebuah wawancara pada hari Senin bahwa dia yakin “resolusi alternatif” AS “lebih relevan untuk mendukung upaya di lapangan untuk membawa kita pada gencatan senjata sementara”.
Usulan teks baru ini muncul setelah AS memveto resolusi DK PBB yang diajukan Aljazair pekan lalu. Thomas-Greenfield saat itu mengklaim bahwa resolusi Aljazair dapat mengganggu perundingan gencatan senjata yang sedang berlangsung.