Rabu 28 Feb 2024 21:09 WIB

Rusia akan Jadi Tuan Rumah Pembahasan Damai Antara Hamas dan Fatah 

Hamas dan Fatah sepakat membahas rekonsiliasi antarkeduanya

Warga Palestina menunggu bantuan kemanusiaan di tepi pantai Kota Gaza, Jalur Gaza, Ahad, (25/2/2024).
Foto: AP Photo/Mahmoud Essa
Warga Palestina menunggu bantuan kemanusiaan di tepi pantai Kota Gaza, Jalur Gaza, Ahad, (25/2/2024).

REPUBLIKA.CO.ID, MOSKOW—Faksi-faksi Palestina yang akan menghadiri KTT di Moskow akhir pekan ini, termasuk Fatah dan Hamas, berencana untuk membahas prospek pembentukan pemerintahan persatuan dan rekonstruksi Jalur Gaza pascakonflik.

Pernyataan itu disampaikan Dubes Palestina untuk Rusia, Abdel Hafiz Nofal kepada kantor berita Rusia, Sputnik.

Baca Juga

Rusia akan menjadi tuan rumah pertemuan antar-Palestina di Moskow mulai Kamis hingga Sabtu, kata Wakil Menteri Luar Negeri Rusia Mikhail Bogdanov kepada Sputnik.

"Kami akan mempertimbangkan pemerintahan baru. Ini adalah masalah teknis, bukan politik. Gaza memerlukan konferensi internasional, pembangunan kembali, pendanaan yang besar, sehingga memerlukan kabinet baru untuk hal ini. Itulah yang akan kami lakukan," kata Nofal.

Untuk itu, berbagai pihak akan melihat peluang ini terlebih dahulu di Moskow, kemudian peluang untuk bersatu dan menghentikan perang, lanjutnya.

Diplomat tersebut mengatakan bahwa kedua gerakan Palestina harus menemukan landasan politik yang sama selama perundingan dan berterima kasih kepada Moskow karena menjadi tuan rumah pertemuan tersebut di "masa yang sulit". Perundingan juga akan fokus pada masalah kemanusiaan di Jalur Gaza, tambahnya.

"Pertama, kami ingin menghentikan perang, dan kedua, (kami ingin) lebih banyak bantuan internasional masuk ke Gaza. Ada lebih dari 2 juta orang di Gaza, mereka membutuhkan 500 truk bantuan kemanusiaan setiap hari. Sejauh ini, jumlah maksimumnya baru di angka 100. Itu tidak cukup," kata Nofal.

Sang Duta Besar Palestina juga menyerukan kerja sama menuju penyelesaian pasca-konflik di Jalur Gaza, dan memperkirakan bahwa penyelesaian tersebut akan membutuhkan dana sebesar 20 miliar dolar AS (sekitar Rp314,5 triliun) serta dalam jangka waktu lima tahun.

"Pembicaraan normal harus dimulai di arena internasional dan menemukan bahasa yang sama mengenai prinsip dua negara yang dibicarakan semua orang," tutur Nofal.

Sebelumnya pada 7 Oktober 2023, gerakan Palestina Hamas melancarkan serangan roket skala besar terhadap Israel dari Gaza dan melanggar perbatasan, menewaskan 1.200 orang dan menculik sekitar 240 lainnya.

Baca juga: Alquran Sebut Langit Tercipta Hingga 7 Lapisan, Begini Penjelasan Ilmiahnya

Israel melancarkan serangan balasan, memerintahkan blokade total terhadap Gaza, dan memulai serangan darat ke daerah kantong Palestina dengan tujuan untuk melenyapkan pejuang Hamas dan menyelamatkan para sandera.

Sedikitnya ada 29.700 orang telah terbunuh sejauh ini di Jalur Gaza, kata pemerintah setempat.

Pada 24 November, Qatar memediasi kesepakatan antara Israel dan Hamas mengenai gencatan senjata sementara dan pertukaran beberapa tahanan dan sandera, serta pengiriman bantuan kemanusiaan ke Jalur Gaza. 

Gencatan senjata telah diperpanjang beberapa kali dan berakhir pada 1 Desember. Selain itu, lebih dari 100 sandera diyakini masih ditahan Hamas di Gaza.

photo
Kelaparan Esktrem di Gaza - (Republika)

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement