REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Wang Wenbin menyebut, rencana parlemen Amerika Serikat (AS) untuk menetapkan undang-undang pelarangan media sosial TikTok hanya akan menjadi bumerang bagi negara tersebut.
"Praktik mengambil langkah sepihak ketika tidak berhasil dalam persaingan yang sehat, malah akan mengganggu jalannya bisnis, melemahkan kepercayaan investor internasional, menyabotase tatanan ekonomi dan perdagangan di dunia dan pada akhirnya akan menjadi bumerang bagi AS sendiri," kata Wang Wenbin saat menyampaikan keterangan kepada media di Beijing, China, Rabu, (13/3/2024).
Pada Rabu, DPR AS akan menggelar pemungutan suara melalui mekanisme jalur cepat, yang mengharuskan dua pertiga anggota kongres memilih "ya" agar Rancangan Undang-Undang (RUU) berisi larangan aplikasi media sosial Tiktok di negara tersebut dapat ditetapkan. "Dalam beberapa tahun terakhir, meski AS tidak pernah menemukan bukti bahwa TikTok merupakan ancaman terhadap keamanan nasionalnya, tapi AS tidak pernah berhenti mengejar kesalahan TikTok," ungkap Wang Wenbin.
Alasan parlemen AS melarang Tiktok adalah karena kepemilikan perusahaan itu dinilai dapat menimbulkan risiko keamanan nasional bagi AS. Berdasarkan RUU itu, perusahaan pemilik Tiktok ByteDance punya waktu enam bulan untuk menjual sebagian sahamnya kepada pihak di luar China, tapi bila tidak bisa melakukannya, maka kios aplikasi yang dioperasikan oleh Apple, Google dan layanan lain secara resmi tidak boleh menawarkan TikTok atau menyediakan layanan "hosting web" untuk TikTok.
Wang Wenbin tidak menjawab pertanyaan wartawan saat ditanya apakah Pemerintah China memberikan saran kepada ByteDance untuk langkah selanjutnya terhadap RUU tersebut. "Saya baru saja menyatakan posisi China. Tindakan penindasan yang dilakukan AS mengganggu tatanan perdagangan internasional yang saat ini normal dan pada akhirnya akan menjadi bumerang," tambah Wang Wenbin.
Pengguna TikTok di AS sendiri saat ini telah mencapai 170 juta orang. RUU soal TikTok itu bahkan didukung baik oleh Partai Demokrat maupun Partai Republik. Konfrontasi antara China-AS di bidang teknologi canggih dan keamanan data semakin sengit karena dua negara besar tersebut ingin mengamankan kekuatan ekonomi dan keamanan nasional masing-masing.
Saat ini, AS bahkan sudah membatasi ekspor teknologi canggih dan arus keluar uang ke China serta akses ke pasar AS bagi perusahaan-perusahaan tertentu terkait teknologi tersebut. ByteDance telah menyatakan, TikTok tidak dimiliki dan dikendalikan oleh Pemerintah China, tidak akan membagikan data pengguna AS kepada Pemerintah China, dan bahkan memperingatkan bahwa tindakan penjualan saham ke pembeli baru malah akan membahayakan keamanan data AS.