Rabu 20 Mar 2024 14:58 WIB

Kemenlu China Ingatkan AS tak Ikut Campur Masalah Laut China Selatan

Terjadi insiden kapal penjaga pantai Filipina dicegat kapal milisi maritim China.

Rep: Antara/ Red: Erik Purnama Putra
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) China, Lin Jian.
Foto: Dok Kemenlu China
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) China, Lin Jian.

REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Juru Bicara Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) China, Lin Jian menegaskan, Amerika Serikat (AS) tidak berhak untuk ikut campur dalam masalah maritim di Laut China Selatan. "AS bukan pihak dalam masalah Laut China Selatan dan tidak berhak ikut campur dalam masalah maritim antara China dan Filipina," kata Lin Jian dalam keterangan kepada media di Beijing, China pada Selasa (19/3/2024).

Hal tersebut disampaikan untuk merespon pernyataan Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken yang menyatakan, Washington berkomitmen untuk membantu pertahanan Filipina jika negara tersebut mendapat serangan dari luar. Hal itu berdasarkan Traktat Pertahanan Bersama AS-Filipina.

Baca: Menko Polhukam: Menguatnya Rivalitas China dan AS di Laut China Selatan

Blinken menyampaikan hal itu dalam konferensi pers bersama Menlu Filipina Enrique Manalo di Manila, Filipina pada Selasa (19/3/2024). Serangan yang dimaksud termasuk serangan terhadap angkatan bersenjata, kapal dan pesawat umum maupun kapal penjaga pantai di seluruh wilayah perairan Laut China Selatan.

"Kerja sama militer antara AS dan Filipina tidak boleh melemahkan kedaulatan dan hak serta kepentingan maritim China di Laut China Selatan, juga tidak boleh digunakan untuk mendukung klaim ilegal Filipina," ucap Lin Jian.

China, kata Lin Jian, akan terus mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk menjaga kedaulatan teritorialnya. "Juga untuk menjaga hak serta kepentingan maritim China serta menegakkan perdamaian dan stabilitas di Laut China Selatan," ujar Lin Jian.

Baca: Dubes: Pembentukan Aliansi RI dan di Luar ASEAN tidak Mungkin

Dalam konferensi pers tersebut, Menlu Blinken mengatakan, Perjanjian Pertahanan Bersama (Mutual Defense Treaty) tahun 1951 membuat Washington berkewajiban ikut mempertahankan Filipina apabila wilayah negara kepulauan itu diserang. Hal yang sama juga berlaku apabila perairan Filipina, yang mencakup sebagian Laut China Selatan juga berusaha direbut negara lain.

Pada 5 Maret 2024, terjadi insiden kapal penjaga pantai Filipina, BRP Sindangan, dan dua kapal yang akan mengantar prajurit pengganti dan logistik ke gugus karang Second Thomas, dicegat oleh kapal penjaga pantai China sekaligus kapal milisi maritim China.

Angkatan Laut Filipina menyebut kapal China menembakkan meriam air dan melakukan manuver berbahaya. Sehingga mengakibatkan tabrakan yang menyebabkan empat personel di salah satu kapal Filipina terluka.

Baca: Antisipasi Konflik Cina Versus Taiwan, Filipina Beri Pelatihan Militer Warga Batanes

Pemerintah China mengeklaim memiliki hak kedaulatan dan yurisdiksi atas kepulauan yang disebut 'Nanhai Zhudao' di Laut China Selatan yaitu terdiri dari Dongsha Qundao, Xisha Qundao, Zhongsha Qundao dan Nansha Qundao atau lebih dikenal sebagai Kepulauan Pratas, Kepulauan Paracel, Kepulauan Spratly dan area Tepi Macclesfield.

Namun, Filipina menempatkan kapal perang BRP Sierra Madre sebagai "markas terapung" bagi penjaga pantai Filipina di terumbu karang tersebut sejak 1999. Saat ini, China dan ASEAN masih merundingkan Pedoman Tata Perilaku (Code of Conduct atau COC) Laut China Selatan.

Selama keketuaan Indonesia di ASEAN pada 2023, negosiasi CoC telah sampai pada tahapan second reading atau pembahasan negosiasi putaran kedua. Pedoman yang baru pertama kali ada dalam sejarah itu merangkum aspirasi ASEAN-China untuk menyelesaikan CoC dalam tiga tahun atau kurang melalui pembahasan secara intensif terhadap isu-isu yang selama ini tertunda.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement