REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Amerika Serikat (AS) memperingatkan akan menjatuhkan sanksi baru ke Iran usai serangan balasannya ke Israel akhir pekan lalu. Menteri Keuangan AS Janet Yellen mengatakan, sanksi baru akan fokus menurunkan kemampuan Iran mengekspor minyak.
Partai Republik di Kongres AS juga mempertimbangkan sejumlah rancangan undang-undang untuk menjatuhkan sanksi pada Iran. Berdasarkan Badan Penelitian Kongres (CRS), sanksi-sanksi Washington pada Iran saat ini sudah melarang semua jenis perdagangan AS dengan negara itu. AS juga memblokir aset-aset Teheran di AS dan melarang bantuan dan penjualan senjata ke Iran.
Dalam laporannya tahun lalu, CRS mengatakan ribuan orang dan perusahaan baik warga Iran atau asing sudah menjadi target sanksi-sanksi yang dijatuhkan Washington untuk menahan dan mengubah perilaku pemerintah Iran. CRS mengatakan AS khawatir dengan program nuklir, pelanggaran hak asasi manusia dan dukungan Iran pada kelompok-kelompok yang AS anggap sebagai organisasi teroris.
"Sanksi-sanksi AS pada Iran dapat disebut sebagai serangkaian sanksi AS yang paling ekstensif dan komprehensif pada negara mana pun," kata CRS. Mantan pejabat Dewan Keamanan Nasional AS Peter Harrell mengatakan AS memiliki opsi untuk menambah sanksi termasuk mengincar aliran minyak Iran dan bermain lebih agresif dalam permainan "Whac-A-Mole" untuk mengincar perusahaan-perusahaan Iran.
Ia mengatakan, langkah paling signifikan yang dapat dilakukan Washington adalah meminta Uni Eropa dan sekutu Barat lainnya untuk memberlakukan sanksi multilateral pada Teheran. Sebagian besar sanksi pada Iran saat ini merupakan sanksi AS. Mantan Presiden AS Donald Trump menjatuhkan kembali sanksi-sanksi pada Iran setelah ia menarik keluar AS dari kesepakatan nuklir 2015 pada 2018 lalu.
"Dari perspektif AS kami harus realistis, sementara selalu ada lebih banyak sanksi yang dapat anda jatuhkan, kami berada di dunia yang tekanan ekonominya semakin berkurang karena kami sudah menjatuhkan begitu banyak sanksi," kata Harrell.
Pemimpin Partai Republik di House of Representative menuduh pemerintah Presiden Joe Biden gagal menegakkan sanksi-sanksi yang sudah ada. Mereka mengatakan akan merancang serangkaian undang-undang untuk mempertajam sanksi pada Iran.
Salah satunya, legislasi yang akan meningkatkan pengawasan Kongres pada keringanan sanksi, memperketat pembatasan ekspor barang-barang dan teknologi AS ke Iran dan memastikan pengecualian sanksi untuk kemanusiaan tidak digunakan untuk aksi teroris atau proliferasi senjata pemusnah massal.
Belum diketahui kapan langkah yang membutuhkan persetujuan dari Senat yang dikuasai Partai Demokrat dan ditandatangani Biden akan menjadi undang-undang. Pada Senin (14/4/2024) House meloloskan undang-undang yang dinamakan Undang-undang Sanksi Energi Iran-Cina.
Undang-undang ini memperluas sanksi Iran dengan mewajibkan laporan tahunan untuk menentukan apakah institusi-institusi keuangan Cina berpartisipasi dalam transaksi minyak Iran. Undang-undang baru ini juga melarang institusi keuangan AS untuk terlibat dengan entitas Cina yang melakukan transaksi minyak dengan Iran.
Tapi, masa depan undang-undang ini masih belum pasti di Senat. Senat yang dikuasai Partai Demokrat mempertimbangkan legislasinya sendiri. Komite Hubungan Luar Negeri Senat meloloskan undang-undang yang memberlakukan tindakan pada pelabuhan dan kilang asing yang memproses minyak yang diekspor dari Iran yang melanggar sanksi AS. Tahun lalu House loloskan undang-undang pendampingnya.
Sejak 2021 lalu pemerintah Biden sudah menjatuhkan sanksi pada ratusan individu dan entitas yang berkaitan dengan Iran. Sanksi AS terhadap Iran menargetkan kemampuan nuklirnya, sektor energi dan pertahanan, pejabat pemerintah, bank, dan aspek-aspek lain dari ekonomi Iran.
AS menjatuhkan sanksi terhadap Organisasi Energi Atom Iran dan perusahaan-perusahaan lain yang diduga memiliki hubungan dengan program nuklir Iran, serta puluhan bank, termasuk Bank Sentral Iran. Washington juga menargetkan Perusahaan Minyak Nasional Iran, Kementerian Perminyakan, dan perusahaan-perusahaan lain dalam upaya untuk membendung pendapatan yang diterima Iran dari sektor energinya, dan menargetkan perusahaan-perusahaan di luar Iran.
Termasuk di Cina dan Uni Emirat Arab, atas perdagangan petrokimia dan minyak bumi Iran meskipun ada sanksi AS. AS memberlakukan beberapa rangkaian sanksi terhadap Garda Revolusi Iran, Pasukan Quds, dan Kementerian Pertahanan dan Logistik Angkatan Bersenjata, serta orang-orang dan entitas yang terkait dengan mereka.
Washington menetapkan Garda Revolusi dan Pasukan Quds sebagai Organisasi Teroris Asing. Para pejabat pemerintah Iran, termasuk Presiden Ebrahim Raisi, juga menjadi target sanksi.