Ahad 21 Apr 2024 07:12 WIB

Strategi Militer AS Diuji di Tengah Ketegangan Israel-Iran

Situasinya belum dapat diprediksi sepanjang Israel menyerang Gaza.

Rep: Lintar Satria/ Red: Setyanavidita livicansera
Vokalis The Brandals Eka Annash (kanan) menyanyi saat aksi solidaritas untuk Palestina di depan Kedutaan Besar Amerika untuk Indonesia, Jakarta, Jumat (19/4/2024). Aksi yang digagas oleh para seniman yang mengatasnamakan Koalisi Musisi untuk Gaza dan KontraS tersebut untuk memberikan wadah bagi anak muda bersuara dan menuntut agar genosida di Palestina segera dihentikan.
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Vokalis The Brandals Eka Annash (kanan) menyanyi saat aksi solidaritas untuk Palestina di depan Kedutaan Besar Amerika untuk Indonesia, Jakarta, Jumat (19/4/2024). Aksi yang digagas oleh para seniman yang mengatasnamakan Koalisi Musisi untuk Gaza dan KontraS tersebut untuk memberikan wadah bagi anak muda bersuara dan menuntut agar genosida di Palestina segera dihentikan.

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Keberhasilan militer Amerika Serikat (AS) membantu Israel menghentikan gelombang serangan rudal dan drone Iran akhir pekan lalu menunjukkan militer AS siap menghadapi apa yang akan terjadi bila ada konfrontasi langsung antara Iran dan Israel.

Namun mantan pejabat dan pejabat AS mengatakan AS tidak akan mengerahkan kembali pasukan ke Timur Tengah. Pentagon juga mungkin akan mempertimbangkan kembali kebutuhan militer di kawasan bila krisis di Timur Tengah semakin mendalam.

Baca Juga

"Saya pikir kami tidak memiliki semua kekuatan yang kami inginkan untuk mendukung Israel bila terjadi perang langsung antara mereka dengan Iran," kata mantan deputi asisten Menteri Pertahanan untuk wilayah Timur Tengah pemerintahan mantan Presiden Donald Trump, Michael Mulroy, Sabtu (20/4/2024).

Meskipun Teheran mengindikasi tidak berencana membalas serangan Israel pada Jumat (19/4/2024) lalu. Aksi saling balas serangan dikhawatirkan memicu perang yang tidak dapat diprediksi, sesuatu yang AS coba untuk cegah.

Beberapa bulan sejak Israel menyerang Gaza untuk menumpas Hamas. AS mengerahkan ribuan pasukan ke kawasan setelah sempat ditarik secara bertahap beberapa tahun terakhir.

Namun banyak yang menilai kapal perang dan pesawat tempur AS hanya keluar-masuk kawasan dan pengerahan itu hanya dilakukan sementara. Strategi AS yang mengandalkan pasukan tambahan diuji saat ini ketika Iran dan Israel melanggar tabu dengan menggelar serangan militer ke satu sama lain.

"Saya pikir apa artinya bagi militer AS adalah kami harus mempertimbangkan kembali gagasan kapabilitas (militer) apa dibutuhkan dan yang berkelajutan yang kami pertahankan di kawasan," kata pensiunan jenderal bintang empat Angkatan Darat AS Joseph Votel yang pernah memimpin pasukan AS di Timur Tengah.

Votel dan mantan pejabat AS mengatakan keberhasilan AS dalam menembak jatuh drone dan rudal Iran pada Ahad (14/4/2024) lalu mungkin dibantu intelijen AS sehingga Pentagon dapat mengantisipasi serangan Iran dengan target dan waktu yang tepat.

"Saya kira kekhawatiran yang lebih besar adalah kemampuan kami dalam meresponnya dalam masa berkepanjangan," kata Votel. Pemerintah AS mengatakan Iran tampaknya tidak ingin perang skala besar dengan Iran. Teheran juga mengecilkan dampak serangan yang kemungkinan dilakukan Israel pada Jumat lalu.

Namun pakar memperingatkan situasinya masih belum dapat diprediksi sepanjang Israel menyerang Gaza. Bulan lalu kepala Komando Pusat AS (CENTCOM) Jenderal Angkatan Darat Michael Kurilla memberitahu anggota parlemen, ia meminta untuk mengirimkan lebih banyak pasukan dibanding yang dikirimkan Pentagon ke kawasan.

Pemerintah Presiden Joe Biden memandang tantangan Timur Tengah lebih rendah dibandingkan tantangan dari Cina. Dalam pernyataan tertulisnya ke Komite Angkatan Bersenjata House of Representative AS, Kurilla mengatakan berkurangnya aset intelijen AS, ditargetkannya pakar dan ahli bahasa "berkontribusi pada kesenjangan dan melemahkan kemampuan kami untuk mendeteksi dan mengganggu rencana dan meningkatkan kebebasan bergerak" organisasi ekstremis untuk melakukan kekerasan.

Walaupun pernyataan Kurilla tampaknya fokus pada Afghanistan. Berkurangnya intelijen AS sudah berdampak pada strategi Washington sejak perang Israel di Gaza.

Contohnya mengenai detail pasokan senjata Houthi sebelum kelompok yang didukung Iran itu menyerang kapal-kapal komersial yang memiliki hubungan dengan Israel di Laut Merah. Pejabat AS mengatakan mereka kesulitan menentukan dampak serangan rudal dan drone Houthi selama berbulan-bulan.

Seorang pejabat mengatakan mengirimkan lebih banyak pasukan dan meningkatkan intelijen di Timur Tengah dalam jangka panjang terbukti sulit dilakukan. "Pasukan kami menyerang sekitar Eropa (dan) yang tidak melalui siklus pemiliharaan yang lambat," kata seorang pejabat AS yang tidak bersedia disebutkan namanya.

"Dan Asia yang menjadi fokus perhatian," tambahnya. Pejabat lain mengatakan masih belum diketahui apakah militer AS siap menarik pasukannya di Asia atau Eropa meski ketegangan semakin memanas.

Sebelum bulan Oktober, terakhir kali AS memiliki ratusan ribu pasukan di Timur Tengah saat mantan Presiden Donald Trump masih menjabat. Saat itu AS menggelar serangkaian aksi yang meningkatkan ketegangan dengan puncaknya ketika AS membunuh jenderal Iran dan serangan rudal balasan Teheran ke pangkalan militer AS di Irak.

Pejabat AS mencatat lonjakan pasukan AS pada 2019 dan 2020 memungkinkan karena tidak seperti saat ini Washington tidak mendedikasikan banyak personel dan sumber daya di Eropa. Realita baru setelah invasi Rusia ke Ukraina pada 2022 lalu.

Mulroy mengatakan AS harus memperkuat posisinya di Timur Tengah tanpa mengabaikan fokusnya pada Cina. AMER"Kami harus mengerahkan pasukan berdasarkan ancaman lingkungan dan tren saat ini, jelas merupakan potensi konflik antarnegara yang lebih luas di Timur Tengah," kata Mulroy. 

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement