REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV -- Pensiunan jenderal Israel Defense Force (IDF) sekaligus pakar militer Israel, Yitzhak Brik, mengatakan kepada situs berita Maariv bahwa negaranya harus menyatakan berakhirnya peperangan. Israel juga disebut harus mengakui kekalahan.
"Israel harus menyatakan perang telah berakhir, lagi pula kami telah menarik pasukan kami keluar dari Gaza, tidak ada cara untuk menghancurkannya sepenuhnya, dan memasuki Rafah tidak akan membantu. Asal tahu saja, kami sudah kalah," kata Brik, dilansir Middle East Monitor, Senin (22/4/2024)
Brik juga mengkritik Perdana Menteri Benjamin Netanyahu yang menyerah terhadap tekanan para menteri pemerintahnya yang ekstremis.
"Saya merasa dia lebih memilih pemerintah daripada mengakhiri perang, Netanyahu memanfaatkan tekanan dari (Menteri Keuangan Bezalel) Smotrich dan (Itamar) Ben-Gvir, dan kenyataannya adalah meskipun dia memahami bencana tersebut, dia tetap menerimanya."
Brik juga mengomentari niat Iran setelah serangan langsung pertamanya terhadap Israel pada pekan lalu. Ia mengatakan, Iran bergerak menuju senjata nuklir bukan untuk menghancurkan Israel, tetapi untuk menyeimbangkan teror.
Sebelumnya, Brik mengatakan, Israel tidak sepenuhnya siap menghadapi perang komprehensif dan tidak memiliki cukup pasukan darat untuk berperang di berbagai medan. Ia juga menyebut bahwa melakukan perang dengan cara ini justru akan mengarah pada kehancuran Israel.
Sementara itu, pemimpin oposisi Israel, Yair Lapid, menyerukan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu untuk segera mundur dan melepas jabatannya. Desakan ini muncul menyusul pengunduran diri kepala Intelijen Militer atas kegagalannya dalam memprediksi serangan Hamas pada 7 Oktober 2023.
Kepala Direktorat Intelijen Militer Israel, Mayor Jenderal Aharon Haliva, mengundurkan diri pada Senin pagi. Ia mengaku gagal dalam memprediksi serangan Hamas.
"Pengunduran diri Kepala Intelijen Militer dibenarkan dan terhormat. Akan lebih tepat bagi Perdana Menteri Netanyahu untuk melakukan hal serupa," tulis Lapid di akun media sosial X, dilansir dari Middle East Monitor pada Senin (22/4/2024).
Pada Ahad (21/4/2024), pejabat kesehatan di Gaza mengonfirmasi bahwa serangan Israel di Kota Gaza selatan Rafah telah menewaskan 22 orang, termasuk 18 anak-anak dan seorang ibu hamil. Serangan itu terjadi ketika Amerika Serikat berada di jalur untuk menyetujui miliaran dolar bantuan militer tambahan untuk Israel.
Serangan Israel pertama di Rafah membunuh seorang pria, istrinya, dan anak mereka yang berusia tiga tahun, menurut Rumah Sakit Kuwait di dekatnya, yang menerima jenazah korban.
"Ibu itu syahid saat sedang hamil, namun para dokter berhasil menyelamatkan bayinya," kata pihak rumah sakit, dilansir Ahram Online pada Ahad (21/4/2024).