Rabu 24 Apr 2024 18:13 WIB

Unjuk Rasa Pro Palestina Semakin Menguat di Kampus-Kampus AS

Pengunjuk rasa menginginkan agar dana abadi universitas melepaskan diri dari Israel.

Rep: Lintar Satria/ Red: Setyanavidita livicansera
Salah satu masjid di Amerika Serikat (ilustrasi). Salah satu mahasiswi yang pernah kuliah di Harvard University, AS, menceritakan pengalamannya saat merayakan Hari Raya Idul Fitri di negara tersebut.
Foto: Dok. EPA/JEFF KOWALSKY
Salah satu masjid di Amerika Serikat (ilustrasi). Salah satu mahasiswi yang pernah kuliah di Harvard University, AS, menceritakan pengalamannya saat merayakan Hari Raya Idul Fitri di negara tersebut.

REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Pengunjuk rasa yang memprotes perang Israel di Gaza memenuhi jalan-jalan di Brooklyn, New York, Amerika Serikat (AS). Unjuk rasa pro Palestina juga meningkat di seluruh kampus di AS. Demonstrasi semakin besar setelah penangkapan massal di sejumlah universitas di East Coast beberapa hari terakhir.

Protes-protes ini menunjukkan ketidakpuasan mendalam di AS, sekutu terkuat Israel. Unjuk rasa di universitas-universitas di Amerika berubah menjadi perkemahan yang menarik mahasiswa dan dosen dari berbagai latar belakang termasuk yang beragama Yahudi dan Islam.

Baca Juga

Mereka menyelenggarakan pengajaran, doa lintas agama dan penampilan musik. Terjadi kebuntuan dalam unjuk rasa di Brooklyn pada Selasa (23/4/2024) saat polisi mulai menangkap orang-orang atas alasan mengganggu ketertiban umum. Polisi menahan orang-orang yang menolak bergerak sesuai tali pembatas.

Dewan Hubungan Islam-Amerika (CAIR) mengkritik polisi membungkam perbedaan pendapat. CAIR mengatakan polisi merusak kebebasan akademik. "Begitu juga pencemaran nama baik dan membahayakan mahasiswa Yahudi, muslim dan Palestina berdasarkan pernyataan menghasut dan mencurigakan beberapa orang yang tak teridentifikasi dan bertopeng di luar kampus," kata direktur eksekutif CAIR di New York Afaf Nasher dalam pernyataannya, Rabu (24/4/2024).

Pihak-pihak yang mengkritik protes itu termasuk anggota-anggota Kongres dari Partai Republik meningkatkan tuduhan anti-semit dan pelecehan setidaknya oleh beberapa pengunjuk rasa. Kelompok-kelompok advokasi hak sipil termasuk ACLU mengungkapkan keprihatinan penangkapan-penangkapan itu merusak kebebasan berbicara.

Terjadi perang mulut antara unjuk rasa pro Palestina dan pro Israel terutama di jalan-jalan publik sekitar Columbia University. Mendorong anggota Kongres dari Partai Republik meminta Presiden AS Joe Biden melindungi mahasiswa Yahudi.

Pengunjuk rasa di beberapa kampus mengatakan insiden di luar kampus terjadi karena provokator yang mencoba membajak pesan protes. "Tidak ada universitas yang tersisa di Gaza, jadi kami memilih untuk merebut universitas kami untuk rakyat Palestina," kata seorang mahasiswa Yahudi Columbia University Soph Askanase yang ditangkap dan diskors karena berunjuk rasa.

"Anti-semitisme, Islamofobia dan rasialisme terutama rasialisme terhadap Arab dan orang Palestina, semuanya berasal dari hal yang sama," katanya. Mahasiswa lainnya menyalahkan universitas gagal melindungi hak mereka untuk berunjuk rasa atau membela hak asasi manusia.

"Sebagai mahasiswa Palestina, saya juga tidak merasa aman selama enam bulan terakhir dan itu berasal dari pernyataan satu pihak dan kelambanan tindakan Columbia University," kata mahasiswa Palestina di Columbia, Mohmoud Khalil.

Mahasiswa University of California, Berkeley, kampus yang dikenal dengan aktivismenya pada tahun 1960-an mendirikan tenda-tenda solidaritas dengan pengunjuk rasa dari kampus lain. Mahasiswa hukum Berkeley, Milton Zirman yang berasal dari Los Angeles mengatakan mahasiswa Yahudi dan Israel mengalami pelecehan.

"Bila anda mahasiswa Israel di kampus ini, anda mereka ada target di punggung anda, anda merasa tidak aman dan tidak diragukan mahasiswa dari Israel enggan datang ke sini," kata Zerman yang berusia 25 tahun.

Polisi New York menangkap lebih dari 120 pengunjuk rasa di New York University pada Senin (22/4/2024) dan lebih 100 pengunjuk rasa di Columbia pekan lalu. Columbia membatalkan kelas tatap muka di kampus Upper Manhattan pada Senin kemarin untuk meredakan ketegangan.

Pada Selasa kemarin, Columbia mengatakan kelas digelar secara hibrida sepanjang tahun ini. Mahasiswa dapat mengikuti kelas daring atau tatap muka. Rektor universitas itu kemudian mengatakan ini waktunya untuk "bergerak maju dengan rencana membongkar" perkemahan pro Palestina dan memberi tenggat waktu penyelenggara aksi sampai tengah malam.

Cal Poly Humboldt, universitas negeri di Arcata ditutup setelah pengunjuk rasa pro Palestina menduduki kampus tersebut. Polisi membongkar tenda-tenda di kampus University of Minnesota di St. Paul setelah pihak universitas meminta polisi bertindak dengan alasan pelanggaran peraturan universitas dan hukum penerobosan.

Beberapa demonstran Yahudi mengatakan mereka menggunakan malam kedua dari hari raya Paskah yang berlangsung selama sepekan, hari raya di mana keluarga-keluarga Yahudi berkumpul dan merayakan kisah Alkitab tentang kebebasan bangsa Israel dari perbudakan Mesir, untuk menegaskan kembali iman mereka dan menjauhkan diri dari strategi perang Israel.

"Saya tidak melihat apa yang dilakukan Israel sebagai pembelaan diri. Saya melihat pelanggaran hak asasi manusia yang luar biasa, benar-benar tidak dapat dipercaya," kata Katherine Stern, 62 tahun, dari Woodstock, New York, yang merelakan keluarganya pergi sejauh 190 kilo meter untuk menghadiri aksi protes di Brooklyn.

Para pengunjuk rasa menginginkan agar dana abadi universitas melepaskan diri dari kepentingan Israel dan Amerika Serikat mengakhiri atau setidaknya mengkondisikan bantuan militer Israel untuk memperbaiki nasib warga Palestina.

Di Brooklyn sekitar 2.000 orang menduduki plaza dekat rumah Ketua Senat dari Partai Demokrat Chuck Schumer yang merupakan pendukung setia Israel dan pejabat tertinggi Pemerintah AS keturunan Yahudi. Mereka meneriakkan slogan "Berhenti persenjatai Israel," "Berhenti mendanai genosida" dan "Biarkan Gaza hidup."

Penyelenggara aksi menampilkan penampilan musik dan lagu Yahudi dan budaya lain. Di aksi tersebut penulis keturunan Yahudi asal Kanada dan aktivis perdamaian Naomi Klein menyebut Zionisme sebagai "false idol."

"Kami berusaha untuk memigrasikan Yudaisme dari ethnostate yang ingin agar orang-orang Yahudi selalu takut  atau agar kami berlari ke bentengnya, atau setidaknya terus mengirimi mereka senjata dan sumbangan," katanya.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement