Kamis 25 Apr 2024 22:37 WIB

Menlu China Kritik AUKUS: Pasifik Bukan Arena Persaingan

AS, Inggris, dan Australia yang mengembangan kapal selam nuklir di wilayah tersebut.

Menteri Luar Negeri China, Wang Yi melambaikan tangan sebelum dimulainya pertemuan bilateralnya dengan Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi di Jakarta, Indonesia, Kamis, (18/4/2024).
Foto: Yasuyoshi Chiba/Pool Photo via AP
Menteri Luar Negeri China, Wang Yi melambaikan tangan sebelum dimulainya pertemuan bilateralnya dengan Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi di Jakarta, Indonesia, Kamis, (18/4/2024).

REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Menteri Luar Negeri China Wang Yi pada Ahad (21/4/2024) mengkritik kemitraan pertahanan trilateral AUKUS antara Amerika Serikat (AS), Inggris dan Australia, dengan mengatakan wilayah Pasifik seharusnya tidak menjadi arena kompetisi kekuatan besar. Dalam konferensi pers bersama dengan Menlu Papua Nugini Justin Tkatchenko, Wang mengungkapkan keprihatinan atas perjanjian AUKUS saat mengunjungi Papua Nugini, menurut keterangan Kementerian Luar Negeri China.

Dia menekankan, wilayah Pasifik "seharusnya tidak menjadi arena bermain kekuatan besar", serta menyuarakan keberatannya terhadap AS, Inggris, dan Australia yang memperkenalkan pengembangan kapal selam nuklir di wilayah tersebut. Wang bersikeras tindakan itu melanggar tujuan Perjanjian Rarotonga, nama yang kerap dipakai untuk Perjanjian Zona Bebas Nuklir Pasifik Selatan tahun 1985.

Baca Juga

Wang mengulangi pendirian China terhadap konfrontasi antar blok di wilayah itu, menyoroti bahwa pendekatan semacam itu tidak sejalan dengan dengan kebutuhan dan tren sejarah perkembangan negara-negara Pasifik. Dia menekankan pula akan komitmen China atas "kerja sama Selatan-Selatan" yang berdasarkan solidaritas antar negara-negara berkembang dan bukan karena adanya kepentingan geopolitik atau agenda tertentu.

Sebagai tanggapan terhadap upaya untuk mengimbangi pengaruh ekonomi China di Pasifik, termasuk melalui aliansi AUKUS dan QUAD, Beijing telah memperkuat hubungannya dengan negara-negara kepulauan Pasifik untuk mendapatkan pengaruh di wilayah tersebut.

Hal ini termasuk perjanjian keamanan kontroversial yang ditandatangani dengan Kepulauan Solomon pada 2022 yang telah menimbulkan kekhawatiran tentang kehadiran kapal perang China di pelabuhan Kepulauan Solomon dan pemberian kekuasaan bagi personel keamanan China untuk menjaga ketertiban sosial dan melindungi kehidupan, properti, dan proyek-proyek China.

Kritikus berpendapat bahwa perjanjian tersebut pada dasarnya berfungsi sebagai “pakta keamanan,” yang memungkinkan China untuk mengerahkan militernya untuk melindungi warga negaranya dan proyek-proyeknya di Pasifik bagian selatan.

sumber : Antara, Anadolu
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement