REPUBLIKA.CO.ID, HAMILTON -- Program Pangan Dunia (WFP) PBB, Jumat (3/5/2025), menyuarakan kekhawatiran mengenai situasi di Sudan. PBB mengatakan negara Afrika tersebut berada di ambang krisis kelaparan terbesar di dunia.
Leni Kinzli, juru bicara WFP di Sudan, mengatakan pada konferensi pers virtual bahwa program PBB tersebut memperingatkan waktu hampir habis untuk mencegah kelaparan. Meningkatnya bentrokan di El Fasher menghambat pengiriman bantuan kemanusiaan ke wilayah tersebut.
"Satu tahun konflik yang menghancurkan di Sudan telah menciptakan bencana kelaparan yang belum pernah terjadi sebelumnya dan mengancam akan memicu krisis kelaparan terbesar di dunia," katanya.
Dia juga menambahkan bantuan pangan terbatas di wilayah El Fasher dan Darfur karena pertempuran dan hambatan birokrasi yang tiada akhir.
Kinzli menyebutkan mereka berupaya menjangkau 700 ribu orang sebelum awal musim hujan saat jalan masih dapat digunakan. Mereka memiliki 8.000 ton stok makanan di Chad, namun distribusi makanan terhambat.
Menyoroti kebutuhan mendesak WFP akan akses tanpa hambatan dan jaminan keamanan, dia menekankan meningkatnya konflik di El Fasher sangat berdampak pada 1,7 juta orang yang sudah menderita kelaparan.
Mengingat sekitar 28 juta orang di Sudan dan Sudan Selatan menghadapi kerawanan pangan, dia meminta komunitas internasional untuk mengambil tindakan. Kinzli lebih lanjut mengingatkan pihak-pihak di Sudan akan kewajiban mereka untuk mematuhi hukum kemanusiaan internasional.
Tentara Sudan menguasai El Fasher dan didukung oleh gerakan bersenjata yang menandatangani perjanjian perdamaian Juba dengan pemerintah pada 2020.
Perang di Sudan pecah pada April 2023 karena perbedaan pendapat mengenai pengintegrasian pasukan paramiliter Sudan (RSF) ke dalam angkatan bersenjata antara Jenderal Angkatan Darat Sudan Abdel Fattah al-Burhan dan komandan RSF Mohamed Hamdan Dagalo.
Konflik tersebut telah menyebabkan krisis kemanusiaan yang menghancurkan. Bentrokan telah menewaskan hampir 16 ribu orang dan membuat jutaan orang mengungsi.
Pada 29 Maret, Sudah mengajukan pengaduan ke Dewan Keamanan PBB terhadap Uni Emirat Arab (UAE) karena diduga mendukung RSF, namun tuduhan itu dibantah oleh UAE.