Sabtu 11 May 2024 09:12 WIB

Untuk Pertama Kalinya, Netanyahu Akui Gagal Lindungi Warga Israel dari Hamas

Desakan Netanyahu agar segera mundur terus menguat

Pengunjuk rasa memegang poster Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyu. Desakan Netanyahu agar segera mundur terus menguat
Foto: EPA-EFE/JAMES ROSS
Pengunjuk rasa memegang poster Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyu. Desakan Netanyahu agar segera mundur terus menguat

REPUBLIKA.CO.ID, ISTANBUL— Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu untuk pertama kalinya secara terbuka mengakui kegagalan pemerintahnya melindungi warga Israel dari serangan mengejutkan kelompok pejuang Palestina, Hamas, pada 7 Oktober tahun lalu.

“Tanggung jawab pertama pemerintah adalah melindungi rakyat. Itu adalah tanggung jawab utama yang harus ditanggung, dan masyarakat tidak terlindungi. Kami harus mengakuinya,” kata Netanyahu dalam sebuah wawancara eksklusif dengan saluran YouTube Dr. Phil's Primetime, Kamis (9/5/2024).

Baca Juga

Setelah serangan 7 Oktober, tekanan publik meningkat terhadap PM Israel untuk mengundurkan diri dari jabatannya karena kurangnya informasi intelijen mengenai serangan yang dilakukan oleh Hamas.

Hamas mengklaim serangan itu merupakan respons atas kebijakan dan tindakan opresif Israel terhadap warga Palestina selama beberapa dekade.

Beberapa survei yang dilakukan di Israel dalam beberapa bulan terakhir juga menunjukkan bahwa masyarakat menginginkan Netanyahu mundur.

Pengakuan Netanyahu atas kegagalan pemerintahannya muncul setelah Presiden Amerika Serikat Joe Biden mengumumkan akan menghentikan pasokan senjata tertentu ke Israel, jika operasi darat skala besar di Rafah dilancarkan.

Namun, Netanyahu menyatakan harapan bahwa dia dan Biden dapat menyelesaikan "perbedaan" mereka terkait serangan yang sedang berlangsung di Gaza.

“Kami sering kali mempunyai kesepakatan, tetapi ada perbedaan pendapat yang bisa kami atasi. Saya harap kami bisa mengatasinya sekarang, tetapi kami akan melakukan apa yang harus kami lakukan untuk melindungi negara kami,” kata dia.

Dia menegaskan kembali tuntutan Israel untuk membentuk "semacam pemerintahan sipil oleh warga Gaza yang tidak terkait dengan serangan ke Israel', dengan bantuan Uni Emirat Arab, Arab Saudi, serta sejumlah negara lain yang menginginkan stabilitas dan perdamaian.

Bersamaan dengan itu, Israel juga menginginkan pembahasan rencana untuk masa depan Jalur Gaza pasca perang.

Media Israel pada Selasa melaporkan bahwa delegasi Hamas dan Israel memiliki perbedaan pendapat yang tidak dapat diselesaikan dalam pembicaraan langsung mengenai pertukaran sandera dan gencatan senjata di Gaza hingga kesepakatan sulit tercapai.

Laporan tersebut mengutip sumber informasi yang tidak disebutkan namanya yang mengatakan bahwa ada “perselisihan yang tidak dapat diselesaikan” antara kedua pihak, tanpa mengungkapkan sifat perselisihan tersebut.

Media itu mengatakan delegasi Israel meninggalkan Kairo pada Kamis malam dan kembali ke Israel.

Otoritas Penyiaran Israel mengutip "sumber informasi" mengenai perkembangan terakhir mengenai perundingan itu, yang dimulai di ibukota Mesir, Kairo pada Selasa.

Menurut otoritas penyiaran, kabinet keamanan Israel akan bertemu pada Kamis malam untuk membahas bagaimana melanjutkan perundingan dengan kembalinya delegasi mereka dari Kairo.

Sebelumnya pada Kamis, saluran berita Mesir, Al-Qahera News, mengutip sumber tingkat tinggi Mesir mengatakan bahwa delegasi Hamas dan Israel meninggalkan Kairo pada Kamis tanpa membahas tanggal baru.

Pada Senin Hamas mengatakan pihaknya telah menerima usulan gencatan senjata Gaza yang disusun Mesir dan Qatar.

Namun Israel mengatakan usulan gencatan senjata yang diterima Hamas tidak memenuhi tuntutan utamanya dan memutuskan untuk melanjutkan operasi di Rafah di Gaza selatan untuk menerapkan tekanan militer terhadap Hamas dengan tujuan mencapai kemajuan dalam pembebasan sandera dan tujuan perang lainnya. 

photo
BUKTI GENOSIDA ISRAEL - (Republika)

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement