REPUBLIKA.CO.ID, ANKARTA -- Uni Emirat Arab (UAE) pada Jumat mengecam Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu yang menyebut nama negara Teluk tersebut dalam usulan pemerintahan sipil yang akan memerintah Jalur Gaza di bawah pendudukan Israel.
Menteri Luar Negeri UAE Sheikh Abdullah bin Zayed menegaskan bahwa Netanyahu tidak mempunyai legitimasi untuk mengambil tindakan seperti itu. Uni Emirat juga menolak terlibat dalam rencana apapun yang bertujuan melindungi kehadiran Israel di Gaza.
Sheikh Abdullah memastikan komitmen UEA yang mendukung Pemerintah Palestina yang sejalan dengan aspirasi rakyat Palestina.
Sebelumnya pada Kamis, Netanyahu mengatakan dalam sebuah wawancara bahwa dibutuhkan pemerintah sipil di Gaza, kemungkinan dengan dukungan UEA dan lainnya.
Selasa lalu, tentara Israel memulai invasi ke wilayah utara Rafah dengan menyerbu dan menduduki sisi Palestina pada perbatasan Rafah dengan Mesir, menutup satu-satunya pintu gerbang Palestina dengan dunia.
Israel menggempur Jalur Gaza sebagai balasan atas serangan Hamas pada 7 Oktober yang menewaskan sekitar 1.200 orang.
Sementara itu hampir 34.950 warga Palestina telah terbunuh di Gaza, sebagian besar di antaranya adalah perempuan dan anak-anak, dan lebih dari 78.500 orang terluka, akibat gempuran Israel, menurut otoritas kesehatan Palestina.
Tujuh bulan setelah perang Israel, sebagian besar wilayah Gaza hancur, memaksa 85 persen populasi di wilayah kantong tersebut mengungsi di tengah blokade makanan, air bersih dan obat-obatan yang melumpuhkan, menurut PBB.
Israel dituduh melakukan genosida di Mahkamah Internasional. Keputusan sementara pada Januari mengatakan “masuk akal” bahwa Israel melakukan genosida di Gaza dan memerintahkan Tel Aviv untuk menghentikan tindakan tersebut serta memastikan bahwa bantuan kemanusiaan diberikan kepada warga sipil di Gaza.