REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Amerika Serikat dan dunia Barat dinilai memainkan standar ganda dalam konflik Israel-Palestina. Hal tersebut disampaikan Direktur Sino-Nusantara Institute, Ahmad Syaifuddin Zuhri di Seminar Nasional bertema "Indonesia, China, Barat dan Geopolitik Timur Tengah" yang bekerja sama dengan FISIP Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang pada Selasa (14/5/2024).
"AS dan Barat dalam konflik Palestina-Israel banyak sekali bersikap standar ganda. Korban sipil yang lebih dari 35 ribu warga Gaza oleh Israel sudah masuk level genosida. Hal itu juga banyak dikecam publik global. AS seolah tutup mata, bahkan mendukung penuh Israel dengan militer dan finansial,” kata dia.
Menurut dia, sikap AS dan Barat berbeda sekali saat banyak yang menuduh China dengan isu HAM dan genosida Uighur di Xinjiang misalnya. “Meski hal itu banyak dibantah juga oleh negara-negara di kawasan Arab seperti Arab Saudi, UEA dan lainnya," ujarnya.
Rektor UIN Walisongo Prof Nizar Ali menyinggung realitas global terkait menurunnya pengaruh AS di Timur Tengah. Menurutnya, hal itu perlu diimbangi adanya pengaruh kekuatan global lainnya seperti China.
"Menurunnya pengaruh AS ini kemudian diimbangi dengan menguatnya pengaruh kekuatan-kekuatan global lainnya seperti China," kata dia dalam keterangan tertulis yang diterima Republika.co.id pada Rabu (15/5/2024).
Melihat relasi China, Barat, dan negara-negara kawasan Timur Tengah, akademisi UIN Walisongo Prof Mukhsin Djamil, memandang dari beragam perspektif yakni geografis, geokultural, serta geopolitik. "Secara geografis, tentu telah menjadi landasan gerakan dan situasinya sudah global. Katakanlah berita dari sana telah mudah diakses di wilayah manapun. Kedua, Timur Tengah sebagai wilayah geokultural memiliki karakter unik. Namun yang mendasar saat ini, dari identitas itu sulit dipahami," kata dia.
"Dari aspek geopolitik dan geokultural, Indonesia itu lebih banyak mempertimbangkan aspek-aspek keagamaan seperti kepentingan haji, dan lainnya," kata dia lagi.
Editor Senior Harian Suara Merdeka Gunawan Permadi mengatakan, dalam perspektif media, framing konflik Israel-Palestina di Timur Tengah belum berubah sejak dulu. Menurut dia, interpretasi publik terhadap suatu isu, terutama dalam isu Timur Tengah, secara tidak sadar “dikuasai” oleh media yang kapitalnya besar. Utamanya, media-media besar dari Barat.
Gunawan juga menyinggung soal kemerdekaan pers. Menurutnya, di banyak negara banyak orang mendiskusikan kemerdekaan pers, namun di Timur Tengah justru banyak jurnalis yang menjadi korban.
Relasi China-Timur Tengah
Direktur Sino-Nusantara Institute, Ahmad Syaifuddin Zuhri menyebut China dalam relasinya di Timur Tengah tak jauh dari relasi ekonomi, perdagangan, manufaktur, dan kebutuhan energi. "Timur Tengah menjadi satu-satunya yang bisa memasok kebutuhan energi 50-60 persen untuk China. Oleh karenanya Timur Tengah menjadi kunci bagi pertumbuhan ekonominya mereka lewat energi itu. Dan konsekuensinya dari itu, negara-negara di Timur Tengah harus menjaga hubungan baik dengan China," kata alumni master Hubungan Internasional Nanchang University, China, itu.
Zuhri melanjutkan, China mempunyai skema Belt and Road Initiative (BRI) yang salah satu tujuannya adalah ke negara-negara Arab. Oleh karenanya, China berkepentingan menawarkan solusi ke negara-negara konflik, termasuk gagasan solusi perdamaian dua negara Palestina dan Israel. Dia menyebut, China sangat mendukung upaya diplomasi dan perdamaian dalam konflik di Timur Tengah, khususnya antara Israel dan Palestina. Upaya China itu juga didukung penuh oleh Indonesia.