Kamis 11 Jan 2018 09:10 WIB

Sejarah Raja Thailand Jadi Pelajaran Baru di Sekolah Islam

Warga Bangkok di antara dua foto raja saat  mengikuti prosesi kremasi dan penguburan jenazah mendiang Raja Bhumibol Adulyadej di Bangkok.
Foto: Sakchai Lalit/AP
Warga Bangkok di antara dua foto raja saat mengikuti prosesi kremasi dan penguburan jenazah mendiang Raja Bhumibol Adulyadej di Bangkok.

REPUBLIKA.CO.ID, BANGKOK -- Sekolah Islam swasta di Thailand selatan, yang berpenduduk sebagian besar Muslim akan mengajarkan sejarah para raja, kata gubernur setempat pada Rabu (10/1). Hal itu sebagai usaha terbaru membawa perdamaian ke wilayah bergolak itu.

Sebagian besar provinsi selatan, yakni Narathiwat, Pattani dan Yala warganya memeluk Islam. Wilayah ini adalah tempat pemberontakan Melayu yang memperjuangkan otonomi bagi daerahnya, tempat lebih dari 6.000 orang tewas sejak 2004.

Gubernur Narathiwat Suraporn Prommool mengatakan 62 sekolah Islam di provinsi tersebut pada tahun ini akan memperkenalkan mata pelajaran berkaitan dengan sifat terpuji raja Thailand dan sejarah negara itu.

"Beberapa orang tidak mengerti sejarah Thailand dan menggunakannya untuk menciptakan pertikaian dan kekerasan. Prakarsa itu akan mengajarkan sifat terpuji para raja dan akan menciptakan persatuan dan cinta di antara orang Thailand," katanya.

Meski begitu, langkah tersebut menimbulkan kebimbangan, kata Artef Sokho, kepala kelompok pendukung korban perang, Jaringan Pattan di luar tanah air. "Saya tidak mengerti apa yang pemerintah Thailand inginkan dari ini," kata Artef dengan menambahkan beberapa orang di wilayah tersebut melihat sejarah itu seperti dipaksakan kepada suku Melayu-Muslim itu.

"Sejarah pembangunan bangsa Thailand dan sejarah Pattani tidak dapat disamakan. Orang di sini merasa memiliki lebih banyak sejarah bersama dengan semenanjung Melayu," kata Artef.

photo
Para pelajar Muslim Thailand.

 

Yala, Pattani dan Narathiwat adalah bagian dari kesultanan mandiri Muslim Melayu sebelum Thailand mencaplok daerah mereka pada 1909. Serangan gerilyawan telah lama menargetkan sekolah dan guru pemerintah di pedalaman wilayah selatan karena mereka dianggap sebagai perwakilan dari negara Thailand.

"Sejarah dalam kurikulum sekolah Thailand adalah versi terpusat yang berpusat pada Bangkok yang tidak memberi arti penting bagi provinsi-provinsi selatan," kata pengulas mandiri Rungrawee Chalermsripinyorat.

Pemerintah Thailand berturut-turut telah memulai pembicaraan mencapai perdamaian dengan kelompok pemberontak yang beroperasi di selatan, namun perundingan hampir tidak pernah dilakukan. Militer juga telah mencoba program untuk merebut "hati dan pikiran" di wilayah tersebut.

Namun beberapa kelompok hak asasi manusia menuduh pihak berwenang melakukan taktik berat, seperti menyiksa tersangka gerilyawan dalam tahanan. Meskipun pengadilan menyatakan tahanan Muslim disiksa di selatan saat ditahan, tidak ada tentara diadili.

 

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement