Sabtu 24 Feb 2018 04:30 WIB

Myanmar Siap Mukimkan Kembali 8.000 Pengungsi Rohingya

Proses ini akan berlangsung selama dua pekan.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Ani Nursalikah
Dalam foto file bulan September 2017, seorang anak Muslim etnis Rohingya menangis ketika berebut pembagian makanan di kamp pengungsian Cox Bazar, Bangladesh.
Foto: AP/Dar Yasin
Dalam foto file bulan September 2017, seorang anak Muslim etnis Rohingya menangis ketika berebut pembagian makanan di kamp pengungsian Cox Bazar, Bangladesh.

REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Pemerintah Myanmar siap memukimkan kembali lebih dari 8.000 pengungsi Rohingya yang melarikan diri ke Bangladesh. Proses ini akan berlangsung selama dua pekan.

Menteri Kesejahteraan Sosial, Bantuan, dan Permukiman Kembali Myanmar Win Myat Aye mengatakan, proses verifikasi terhadap 8.000 pengungsi Rohingya dari 1.700 keluarga yang diserahkan Bangladesh pada awal Februari telah dilakukan. "Verifikasi tempat tinggal mereka akan segera selesai, jadi kita akan siap mengambil kembali kelompok pengungsi pertama dalam dua pekan," katanya pada Jumat (23/2), seperti dilaporkan laman Anadolu Agency.

Win, yang juga ketua komite pelaksana rekomendasi Kofi Annan untuk Rakhine menambahkan negaranya akan membawa 300 pengungsi Rohingya dari Bangladesh setiap harinya. Mereka akan ditampung terlebih dulu di tiga kamp repatriasi sementara hingga proses verifikasi selesai dilakukan.

"Setelah itu mereka akan diizinkan menetap di tempat tinggalnya," ungkapnya.

Kendati demikian, Win menyatakan proses verifikasi ini hanya akan dilakukan negaranya bersama Bangladesh tanpa melibatkan pihak lain. "Kami tidak akan membiarkan organisasi lain atau PBB terlibat dalam proses tersebut," ujarnya.

Bangladesh dan Myanmar mencapai kesepakatan repatriasi pengungsi Rohingya pada November 2017. Namun kesepakatan tentang proses repatriasi ini dikritisi lembaga hak asasi manusia internasional.

photo
Pengungsi Rohingya di Bangladesh

Human Rights Watch (HRW), misalnya, menyerukan agar proses repatriasi pengungsi Rohingya dapat dipantau oleh badan internasional. Hal tersebut dilakukan guna memastikan Myanmar benar-benar menjalankan tanggung jawabnya, termasuk menjamin keamanan serta keselamatan Rohingya.

Sementara itu Ketua Dewan Rohingya Eropa Hla Kyaw mengatakan kesepakatan repatriasi pengungsi Rohingya yang telah dicapai Bangladesh dan Myanmar merupakan sebuah mimpi buruk. Sebab kesepakatan tersebut belum menegaskan tentang jaminan keselamatan, keamanan, dan status kewarganegeraan untuk para pengungsi.

Sejalan dengan pandangan HRW, Kyaw menilai, penyelesaian krisis Rohingya memang perlu melibatkan partisipasi masyarakat internasional, termasuk PBB. "Militer Myanmar akan melakukan operasi lagi setelah beberapa tahun berselang, kecuali masyarakat internasional mengambil tindakan nyata melawan Myanmar," ujarnya.

Hal senada pun disampaikan Unit Penelitian Pengungsian dan Migrasi (UPPM) yang berbasis di Dhaka, Bangladesh. Koordinator UPPM C.R. Abrar berpendapat, upaya pemenuhan hak-hak dasar Rohingya memang bukan hanya menjadi tanggung jawab Bangladesh atau Myanmar, tapi juga masyarakat internasional.

"Karena itu masyarakat internasional harus terus maju dan berupaya dalam masalah ini. Ini bukan hanya tanggung jawab untuk Bangladesh, tapi masyarakat internasional juga memiliki tanggung jawab," kata Abrar.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement