Selasa 06 Mar 2018 15:44 WIB

Pejabat PBB: Myanmar Lanjutkan Operasi Pembersihan Rohingya

Kekerasan telah berubah dari pemerkosaan ke kampanye teror.

Rep: Marniati/ Red: Nur Aini
Pengungsi Rohingya di Bangladesh
Foto: BPMI
Pengungsi Rohingya di Bangladesh

REPUBLIKA.CO.ID, COXS BAZAR -- Seorang pejabat senior Hak Asasi Manusia PBB pada Selasa (6/3) mengatakan Myanmar masih terus melakukan operasi pembersihan etnis Muslim Rohingya. Hal ini setelah lebih dari enam bulan sejak serangan yang membuat 700 ribu orang Rohingya melarikan diri ke Bangladesh untuk menghindari kekerasan.

Asisten sekretaris Jenderal PBB untuk Hak Asasi Manusia, Andrew Gilmour memberikan komentar tersebut setelah melakukan kunjungan empat hari ke distrik Cox's Bazar di negara tetangga Bangladesh. Dia telah bertemu dengan orang-orang yang telah melarikan diri dari Myanmar baru-baru ini.

"Saya tidak berpikir kita bisa menarik kesimpulan lain dari apa yang telah saya lihat dan dengar di Cox's Bazar," kata Gilmour dalam sebuah pernyataan.

Gilmour berbicara kepada para pengungsi yang menceritakan penculikan oleh pasukan keamanan dan kematian seorang pria Rohingya yang ditahan pada Februari. "Tampaknya kekerasan yang meluas dan sistematis terhadap Rohingya tetap ada," kata Gilmour.

Ia mengatakan sifat kekerasan telah berubah dari pemerkosaan ke kampanye teror yang intensitasnya lebih rendah dan kelaparan. Kondisi tersebut tampaknya dirancang untuk mengusir Rohingya yang tersisa dari rumah mereka sehingga menuju ke Bangladesh.

Meskipun Myanmar mengatakan bahwa pihaknya siap untuk menerima kembali pengungsi berdasarkan sebuah perjanjian yang ditandatangani dengan Bangladesh pada November lalu. Namun proses pemulangan tidak mungkin terjadi dalam kondisi saat ini.

Juru bicara pemerintah Myanmar Zaw Htay mengaku belum melihat pernyataan PBB yang baru dipublikasikan tersebut. Ia menekankan bahwa Myanmar tidak melakukan pembersihan etnis. "Kami tidak mengusir para pengungsi," katanya.

Secara terpisah, badan pengungsi PBB, UNHCR, mengaku khawatir dengan nasib orang-orang yang tinggal di perbatasan Myanmar dengan Bangladesh. Kantor Komisi Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengungsi memantau perkembangan setelah beberapa ribu orang tinggal di sebuah kamp darurat. Mereka diperintahkan untuk mengosongkan wilayah tersebut oleh pemerintah Myanmar.

Warga mengatakan pejabat Myanmar telah memperingatkan mereka dengan pengeras suara bahwa kehadiran mereka di garis perbatasan ilegal. "UNHCR menggarisbawahi bahwa setiap orang memiliki hak untuk mencari suaka, sama seperti mereka memiliki hak untuk kembali ke rumah saat mereka menganggap waktu dan keadaan benar," katanya dalam sebuah pernyataan Senin malam.

Menurut UNHCR, orang-orang yang telah melarikan diri dari kekerasan di negara mereka harus diberi keamanan dan perlindungan. Keputusan untuk kembali harus bersifat sukarela dan berdasarkan pilihan yang bebas dan terinformasi.

Menanggapi hal ini Zaw Htay mengatakan bahwa Myanmar memiliki hak untuk memindahkan orang dari wilayahnya dan bagian dari "zona penyangga" yang disepakati dengan Bangladesh. Menurutnya pihak berwenang telah menerima informasi bahwa militan yang terkait dengan serangan Agustus terhadap pos keamanan Myanmar telah berlindung di wilayah tersebut.

"Menurut prosedur aparat keamanan harus membersihkan daerah tersebut untuk alasan keamanan," katanya.

Zaw Htay yakin orang-orang tersebut tinggal di perbatasan untuk menjebak Myanmar agar melakukan operasi pembersihan.

Bangladesh pekan lalu memprotes kedubes Myanmar di Dhaka setelah petugas keamanan Myanmar, yang diperkirakan berjumlah lebih dari 200 orang, berkumpul di dekat perbatasan. "Pasukan gerakan yang dekat dengan mereka membuat keadaan menjadi lebih buruk lagi. Mereka sekarang bahkan lebih enggan untuk kembali ke tanah air mereka," kata Mayor Iqbal Ahmed dari penjaga perbatasan Bangladesh.

Setelah gerilyawan Rohingya menyerang 30 pos polisi dan sebuah pangkalan militer pada 25 Agustus, tentara Myanmar dan polisi membersihkan desa-desa untuk membasmi militan. Rohingya yang mencari perlindungan di Bangladesh telah melaporkan pemerkosaan, pembunuhan dan pembakaran oleh aparat keamanan. Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Amerika Serikat telah menyimpulkan bahwa kampanye tersebut merupakan pembersihan etnis.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement