Rabu 13 Sep 2017 10:10 WIB

Suu Kyi Batal Hadiri Sidang Majelis Umum PBB, Ada Apa?

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Bilal Ramadhan
Aung San Suu Kyi
Foto: EPA/Hein Htet
Aung San Suu Kyi

REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Pemimpin de facto Myanmar Aung San Suu Kyi telah membatalkan rencana untuk menghadiri sidang Majelis Umum PBB yang akan digelar di New York, Amerika Serikat (AS), akhir bulan ini. Hal tersebut disampaikan juru bicara Kementerian Luar Negeri Konselor Negara Aung San Suu Kyi, Kyaw Zeya.

Menurut Zeya, kondisi dalam negeri Myanmar memang tidak memungkinkan Aung San Suu Kyi hadir di Mejelis Umum PBB. Adapun delegasi Myanmar nantinya akan dipimpin oleh Wakil Presiden Henry Van Thio.

"Konselor negara (Aung San Suu Kyi) memiliki masalah dalam negeri yang membutuhkan lebih banyak perhatian. Oleh sebab itu wakil presiden akan memimpin delegasi Myanmar," kata Zeya seperti dikutip laman Anadolu Agency, Selasa (12/9).

Dalam beberapa waktu belakangan, Aung San Suu Kyi telah dihujani kritik dan protes terkait krisis Rohingya. Ia dinilai seperti membiarkan pembunuhan dan pembantaian terhadap Rohingya terus berlangsung. Hal ini pula yang memantik seruan agar nobel perdamaian yang pernah diterimanya dicabut.

Berdasarkan laporan PBB, lebih dari 370 ribu etnis Rohingya telah melarikan diri dari Myanmar dan menyeberang ke Bangladesh. Gelombang pengungsi ini melonjak seiring dengan meningkatnya kecemasan terhadap operasi militer Myanmar di negara bagian Rakhine.

Dalam operasi tersebut, militer Myanmar dilaporkan tidak hanya membakar permukiman Rohingya. Mereka memberondong penduduk dengan tembakan dan tak segan membunuh kendati korbannya adalah anak-anak atau perempuan.

Pada Selasa (12/9), pemerintah Myanmar mengumumkan telah membentuk sebuah komite untuk melaksanakan rekomendasi yang diusulkan komisi pimpinan mantan sekretaris jenderal PBB Kofi Annan. Komite beranggotakan 15 orang ini dipimpin Menteri Kesejahteraan Sosial, Bantuan, dan Permukiman Myanmar Win Myat Aye bersama Kepala Menteri Negara Bagian Rakhine Nyi Pu.

Komite ini nantinya akan bekerja untuk meredam ketegangan di Rakhine serta mengatasi krisis pengungsi yang kini telah membanjiri perbatasan Bangladesh.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement