Kamis 21 Dec 2017 14:45 WIB

Mereka Dibantai di Maung Nu

Rep: Fira Nursya'bani/ Red: Fitriyan Zamzami
Bodru Duza (52 tahun) memeluk kedua putranya selepas berkumpul kembali di pengungsian di Banglades, November lalu.
Foto: Wong Maye/AP Photo
Bodru Duza (52 tahun) memeluk kedua putranya selepas berkumpul kembali di pengungsian di Banglades, November lalu.

REPUBLIKA.CO.ID, UKHIA - Selama enam jam, Bodru Duza (52 tahun) bersembunyi di ruang bagian atas rumahnya, di desa Maung Nu di Rakhine. Di luar, sependengarannya, deru tembakan mulai menyalak ditingkahi jeritan orang-orang yang dibantai.

Setiap langkah kaki yang mendekat, Duza berharap-harap cemas, takut tentara Myanmar menemukannya dan membantainya seperti yang lain. Duza menceritakan, mereka ditutup matanya dan diikat dalam kelompok kecil, kemudian dibantai dan ditembak mati meski berulang kali memohon dibiarkan hidup.

Setelah pembantaian itu selesai, Duza keluar dari tempat persembunyiannya dan melihat begitu banyak darah. Ia mengumpulkan senjata laras panjang di antara potongan daging dan tengkorak manusia yang hancur.

Istrinya, anak perempuannya, dan lima anak laki-lakinya tidak terlihat di manapun. Saat dia merayap ke arah belakang untuk melarikan diri, dia menemukan mayat seorang anak laki-laki tak dikenal yang tergeletak di lantai. "Ya, Allah. Apa yang telah mereka lakukan terhadap kami? Apa yang telah mereka lakukan terhadap keluargaku?" ujar Duza.

Keluarga Duza termasuk dalam etnis Muslim Rohingya, yang telah lama dianiaya dan ditolak hak-hak dasarnya di Myanmar. Mereka tinggal di Desa Maung Nu, tempat sedikitnya 82 warga Rohingya dilaporkan telah dibunuh pada 27 Agustus lalu.

Pada pertengahan November lalu, Bodru Duza akhirnya berhasil berkumpul kembali dengan keluarganya di pengungsian di Bangladesh. Mereka berjalan kaki secara terpisah dari kampung halaman menuju perbatasan Myanmar-Banglades dan akhirnya terkumpul di kompleks pengungsian Cox's Bazaar.

Apa yang terjadi akhir tahun lalu telah mengubah Negara Bagian Rakhine menjadi neraka. Saat itu, sekelompok militan Rakhine melakukan penyerangan terhadap beberapa pos tentara Myanmar. Serangan itu dipicu kemarahan terkait perlakuan tentara Myanmar terhadap warga Rohingya di pengungsian-pengungsian di Rakhine.

Menyusul penyerangan itu, militer Myanmar mengamuk. Yang terjadi kemudian adalah salah satu pembantaian paling berdarah yang pernah terjadi di Asia Tenggara. Sejumlah pihak termasuk Dewan HAM PBB meyakini, pasukan pemerintah Myanmar melancarkan operasi militer untuk mengusir minoritas Rohingya. Sebanyak 650 ribu warga Rohingya kemudian melarikan diri ke Bangladesh.

Associated Press (AP) mencoba merekonstruksi pembantaian di Maung Nu sesuai dengan cerita 37 warga yang selamat, yang sekarang tersebar di kamp-kamp pengungsi di Bangladesh. Kesaksian mereka dan rekaman video eksklusif dari lokasi pembantaian yang diperoleh AP dan didokumentasikan oleh PBB serta negara-negara lain, menunjukkan angkatan bersenjata Myanmar telah secara sistematis mengeksekusi warga sipil.

Militer Myanmar tidak menanggapi permintaan untuk mengomentari kesaksian ini. Pemerintah Myanmar bahkan melarang wartawan untuk melakukan perjalanan ke Negara Bagian Rakhine.

Selain Duza, ada Jamila Begum (35 tahun). Saat ia meninggalkan Maung Nu setelah pembantaian, ia hanya membawa dua kenangan dari anak lelakinya yang berumur 15 tahun. Salah satunya, kaos yang kerap dipakai anak lelakinya, lainnya adalah tas tempat membawa buku-buku sang anak ke sekolah.

"Ia suka menaruh tas itu di sampingnya saat membaca pada malam hari," kata Jamila tak mampu menahan air mata yang mengaliri pipinya. "Ia murid yang baik," kenang Jamila.

Jamila menceritakan, saat pembantaian ia pertam-tama melihat suaminya dibacok tentara menggunakan parang. Tentara-tentara tersebut kemudian mengikat anaknya, Jahin Gir, di pohon dan bersiap menembak. Jamila tak sanggup menyaksikan. "Mengapa dia dibunuh? Apa yang ia perbuat?"

sumber : Associated Press
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement