Kamis 11 Jan 2018 10:16 WIB

Menlu Negara Arab akan Kembali Bertemu Bahas Yerusalem

Rep: Fira Nursya'bani/ Red: Ani Nursalikah
Warga Palestina melaksanakan Shalat Jumat berlarian saat kanister gas air mata yang ditembakkan polisi Israel meledak. Sebelumnya mereka melaksanakan shalat jumat  di jalan menuju di Kota Tua Yerusalem tersebut.
Foto: Ronen Zvulun/Reuters
Warga Palestina melaksanakan Shalat Jumat berlarian saat kanister gas air mata yang ditembakkan polisi Israel meledak. Sebelumnya mereka melaksanakan shalat jumat di jalan menuju di Kota Tua Yerusalem tersebut.

REPUBLIKA.CO.ID,  AMMAN -- Menteri Luar Negeri (Menlu) negara-negara Arab akan kembali melakukan pertemuan untuk membahas langkah-langkah yang akan dilakukan dalam menghadapi pengakuan Presiden AS Donald Trump terhadap Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Informasi ini diumumkan Liga Arab pada Rabu (10/1).

Sekretariat Umum Liga Arab dalam sebuah memo mengatakan pertemuan ini akan diadakan pada 1 Februari mendatang di Kairo, Mesir. Pada Sabtu (6/1), Yordania mengatakan Liga Arab akan mencari pengakuan internasional atas negara Palestina dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya.

Dalam sebuah resolusi setelah pertemuan darurat pada Desember lalu, Menlu negara-negara Arab mendesak AS membatalkan keputusannya. Mereka menyatakan Washington telah secara otomatis menarik diri sebagai mediator bagi proses perdamaian Israel-Palestina.

Keputusan Trump pada Desember lalu untuk memindahkan Kedutaan Besar AS ke Yerusalem dari Tel Aviv telah memicu bentrokan mematikan di wilayah Palestina. Keputusan ini juga telah ditolak dalam resolusi Majelis Umum PBB yang tidak mengikat.

Dilansir di Al-Arabiya, Israel menduduki Yerusalem Timur dan Tepi Barat dalam Perang Enam Hari pada 1967. Israel kemudian mencaplok Yerusalem Timur dalam sebuah langkah yang tidak pernah diakui masyarakat internasional.

Status kota Yerusalem adalah salah satu isu yang paling diperdebatkan dalam konflik Israel-Palestina. Israel mengklaim seluruh Yerusalem sebagai ibu kota mereka, sedangkan Palestina menganggap kota tersebut sebagai ibu kota negara mereka yang merdeka di masa depan.

Masyarakat internasional tidak mengakui kota kuno tersebut sebagai ibu kota Israel. Mereka bersikukuh, masalah ini hanya bisa diselesaikan dengan negosiasi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement