Senin 05 Jul 2010 16:37 WIB

Warga Uighur di Eropa Peringati Kerusuhan Urumqi

REPUBLIKA.CO.ID,  PARIS--Demonstran dari berbagai penjuru Eropa, sebagian besar etnik Uighur yang tinggal di pengasingan, berpawai di Paris, Minggu, untuk memperingati tahun pertama kerusuhan mematikan di wilayah Xinjiang, China.

Sekitar 150 orang mengambil bagian dalam demonstrasi di dekat Menara Eiffel di Paris pusat, menurut laporan wartawan AFP, sebelum mereka berpawai menuju Kedutaan Besar China.

Pemrotes membawa spanduk-spanduk yang bertuliskan "Hentikan Pembantaian China terhadap Orang Uighur" dan "Kemerdekaan bagi Turkistan Timur" pada pawai itu, yang diadakan oleh Kongres Uighur Dunia, yang mewakili orang Uighur di pengasingan.

Demonstran datang dari berbagai daerah Prancis, dan juga Inggris, Jerman, Belanda dan Swis, untuk mengambil bagian dalam pawai itu. Mereka mengibarkan bendera biru dengan bintang putih dan bulan sabit yang merupakan simbol Turkistan Timur.

Massa demonstran mendesak masyarakat internasional menekan China agar melakukan perundingan dengan para pemimpin Uighur setelah kekerasan tahun lalu di Urumqi, ibukota provinsi Xinjiang.

Dalam kerusuhan pada 5 Juli 2009, sebagian besar dari mereka yang tewas adalah orang Han, kelompok etnik dominan di China, namun puluhan orang Uighur juga tewas, menurut data pemerintah China. Kerusuhan itu merenggut 197 jiwa dan mencederai lebih dari 1.600 orang.

Kekerasan yang dialami orang Uighur itu telah menimbulkan gelombang pawai protes di berbagai kota dunia seperti Ankara, Berlin, Canberra dan Istanbul.

Orang Uighur berbicara bahasa Turki dan Perdana Menteri Turki Recep Tayyip Erdogan adalah yang paling keras melontarkan kecaman dan menyebut apa yang terjadi di Xinjiang sebagai "semacam pembantaian".

Orang-orang Uighur di pengasingan mengklaim bahwa pasukan keamanan China bereaksi terlalu berlebihan atas protes damai dan menggunakan kekuatan mematikan.

Rawan Politik

Delapan juta orang Uighur, yang memiliki lebih banyak hubungan dengan tetangga mereka di Asia tengah ketimbang dengan orang China Han, berjumlah kurang dari separuh dari penduduk Xinjiang.

Bersama-sama Tibet, Xinjiang merupakan salah satu kawasan paling rawan politik dan di kedua wilayah itu, pemerintah China berusaha mengendalikan kehidupan beragama dan kebudayaan sambil menjanjikan petumbuhan ekonomi dan kemakmuran.

Beijing tidak ingin kehilangan kendali atas wilayah itu, yang berbatasan dengan Rusia, Mongolia, Kazakhstan, Kyrgyzstan, Tajikistan, Afghanistan, Pakistan dan India, dan memiliki cadangan minyak besar serta merupakan daerah penghasil agas alam terbesar China.

Namun, penduduk minoritas telah lama mengeluhkan bahwa orang China Han mengeruk sebagian besar keuntungan dari subsidi pemerintah, sambil membuat warga setempat merasa seperti orang luar di negeri mereka sendiri.

Beijing mengatakan bahwa kerusuhan itu, yang paling buruk di kawasan tersebut dalam beberapa tahun ini, merupakan pekerjaan dari kelompok-kelompok separatis di luar negeri, yang ingin menciptakan wilayah merdeka bagi minoritas muslim Uighur.

Kelompok-kelompok itu membantah mengatur kekerasan tersebut dan mengatakan, kerusuhan itu merupakan hasil dari amarah yang menumpuk terhadap kebijakan pemerintah dan dominasi ekonomi China Han.  

sumber : antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement