Selasa 06 Jul 2010 05:59 WIB

Pimpinan Komisi Penyelidik Insiden Gaza Ancam Mundur

Ilustrasi
Foto: .
Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, YERUSALEM--Sejumlah media Israel melaporkan, Yakob Tirkel, bekas hakim pengadilan tinggi, yang kini mempimpin Komisi Penyelidik Insiden Gaza mengancam akan mengundurkan diri jika komisinya tidak dapat menjalankan penyelidikan dengan leluasa. Sebelumnya, Komisi penyelidikan kasus kapal bantuan Gaza bentukan Israel bakal mendapat wewenang tambahanyaitu diizinkan untuk menginterogasi saksi mata dan mengundang dua pemantau asing.

 

Namun di televisi nasional, Perdana Menteri Benjamin Netanyahu menjamin, komisi akan diberi kewenangan penuh. "Semua isu akan dibahas. Ada komisi yang memeriksa mekanisme dan ada komisi yang lain, misalnya pengawas yang dikirim oleh negara," ujarnya.

Komisi pimpinan Tirkel dibentuk atas desakan dunia internasional. Sepekan lalu Yakob Tirkel dan anggota komisinya mulai bertugas. Namun belum apa-apa, datang hujan kritik dari pengamat hukum dan wartawan mengenai profil anggota komisi yang dianggap tidak bergigi dan terlampau tua. Usia rata-rata anggota komisi ditaksir sekitar 84 tahun. Mereka nantinya harus memeriksa Menteri Pertahanan Ehud Barak dan kepala pemerintahan Netanyahu.

Meski terdengar meyakinkan, komisi penyelidikan tetap tidak berwenang untuk merekomendasikan hukuman terhadap poltikus dan perwira militer, termasuk menginterogasi anggota satuan yang terlibat pada malam naas tersebut. Wewenang itu merupakan milik militer Israel yang berjanji akan menyidik insiden itu sendiri.

Sebaliknya komisi Tirkel hanya ditugaskan untuk menilai, apakah serangan militer terhadap konvoi kapal bantuan untuk Jalur Gaza itu sudah sesuai dengan hukum yang berlaku. "Sama sekali tidak cukup," ujar aktivis perdamaian Israel, Uri Avnery. "Yang paling penting adalah bagaiamana pemerintah mengambil keputusan dan bagaimana operasi tersebut dijalankan. Sebab itu kami serukan kepada Mahkamah Agung dengan permintaan agar membentuk komisi penyelidikan terhadap negara."

sumber : DW/Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement