REPUBLIKA.CO.ID,KABUL--Pemerintah Afghanistan menemukan ladang minyak besar yang diperkirakan mengandung minyak sebanyak 1,8 miliar barel di bagian utara negara yang masih dilanda perang tersebut. Cekungan minyak yang terletak di antara utara Provinsi Balkh dan Shiberghan ini ditemukan survei yang dilakukan oleh ahli geologi Afghanistan dan internasional
''Saya tidak tahu nilainya, tapi survei awal mengatakan ada 1,8 miliar barel minyak. Dan saya pikir akan ada lebih dari apa yang diperkirakan,'' ungkap juru bicara kementrian pertambangan Afghanistan, Jawad Omar, Ahad (15/8) waktu setempat kepada Reuters.
Diperkirakan, banyak kekayaan alam yang masih tersimpan di bumi Afghanistan. Namun, kekayaan alam itu belum bisa dimanfaatkan karena terkendala perang dan minimnya infrastruktur sehingga membuat investor enggan masuk ke sana. Omar tidak memberikan rincian lebih lanjut tentang bagaimana proses penemuan dan perkiraan potensi ladang minyak itu. Namun pemerintah Afghanistan ingin segera mengeksploitasinya bersama tambang mineral lainnya.
Afghanistan berharap dapat memanfaatkan potensi tambangnya yang senilai tiga triliun dolar AS untuk mengurangi ketergantungan keuangannya dari negara-negara Barat. Hasil kekayaan alam tersebut diharapkan dapat mengatasi kemiskinan, membiayai prajurit dan menjaga keamanan setelah pasukan asing pergi dari Afghanistan.
Sebelumnya, tim geologi AS mengkonfirmasi temuan deposit mineral di Afghanistan senilai 1 triliun dolar AS. Harian New York Times melaporkan, tembaga dan lithium adalah jumlah terbesar dalam ladang ini. Termasuk di dalamnya potensi biji besi, emas, niobium, dan kobalt. Berapa jumlahnya? ''Cukup untuk mengubah negara-bekas luka pertempuran menjadi salah satu eksportir terkemuka di dunia pertambangan,'' ujar pejabat pemerintah senior AS.
Omar juga mengatakan, rencana awal untuk melelang blok minyak di wilayah Tajik dengan kandungan 1,6 miliar barel pada awal tahun 2011 masih berjalan. Selain itu, dia mengatakan, pemerintah akan menggelar tender ulang tambang biji besi dengan deposit 1,8 miliar ton yang semula dilakukan awal tahun lalu, karena alasan resesi global dan perubahan di pasar dunia.