Rabu 09 Jan 2019 11:27 WIB

Pemerintah Gabon Gagalkan Kudeta Militer

Militer mengambil alih radio negara untuk mengakhiri kekuasaan keluarga Bongo.

Rep: Fergi Nadira/ Red: Nur Aini
Polisi Gabon saat mengamankan protes setelah pemilu di Libreville, Kamis, 1 September 2016. Ali Bongo yang kembali terpilih sebagai presiden menuai protes dari rakyat.
Foto: AP Photo/Joel Bouopda
Polisi Gabon saat mengamankan protes setelah pemilu di Libreville, Kamis, 1 September 2016. Ali Bongo yang kembali terpilih sebagai presiden menuai protes dari rakyat.

REPUBLIKA.CO.ID, LIVER -- Juru Bicara Pemerintahan Gabon Guy Bertrand Mapangao mengumumkan bahwa pemerintahannya telah berhasil menggagalkan kudeta usai terbunuhnya dua anggota militer dan menangkap tujuh pemberontak lainnya. Sebelumnya, militer Gabon mengambil alih radio negara dalam upaya untuk mengakhiri 50 tahun pemerintahan oleh keluarga Presiden Ali Bongo.

"Situasi kini sudah di bawah kendali. Pemerintah sudah aman. Institusi juga sudah aman," ujar Mapangao seperti dilansir Aljazirah Rabu (9/1).

Tentara Gabon mengambil alih stasiun radio di ibu kota, Libreville yang menyiarkan pesan bahwa presiden Bongo tidak lagi cocok untuk menjabat.

Presiden berusia 59 tahun dilaporkan menderita stroke di Arab Saudi pada Oktober. Ia berada di Maroko untuk perawatan medis sejak November.

Pada 31 Desember 2018, dalam salah satu penampilan televisi pertamanya sejak stroke, Bongo, menunjukkan pidato yang dinilai melantur dan ia terlihat tidak dapat menggerakkan lengan kanannya. Tidak jelas apakah dia bisa berjalan atau tidak.

Dalam sebuah pesan radio pada pukul 4.30 pagi (3.30 GMT), Letnan Kelly Ondo Obiang, yang menyebut dirinya sebagai petugas di Pengawal Republik, mengatakan, pidato Malam Tahun Baru Bongo memperkuat keraguan tentang kemampuan seorang presiden untuk terus melaksanakan tanggung jawabnya. Sebuah video yang diposting di media sosial menunjukkan Letnan Ondo mengenakan seragam militer dan baret hijau ketika dia membaca pernyataan itu. Sementara ada dua tentara lain dengan senapan berdiri di belakangnya.

Letnan Ondo mengatakan, upaya kudeta tersebut dilakukan oleh kelompok yang disebut Gerakan Patriotik Pasukan Pertahanan dan Keamanan Gabon. Mereka berniat memulihkan demokrasi di negara Afrika Barat yang kaya minyak itu. Di luar stasiun radio, sekitar 300 orang berkumpul untuk mendukung upaya kudeta, tetapi dengan cepat dibubarkan oleh tentara loyalis pemerintahan.

Kemudian, tentara keamanan pemerintahan menyerbu markas penyiaran negara bagian RTG, menangkap kepala pemberontak, dan menewaskan dua timnya. "Tentara juga membebaskan wartawan dan teknisi yang telah disandera dan dipaksa untuk membantu pemberontak membuat siaran mereka," ujar Mangapao.

Usai kudeta, jam malam diberlakukan di ibu kota tepi pantai. Layanan internet juga diputus. "Tank dan tentara militer berpatroli di jalan-jalan," kata Antoine Lawson, seorang jurnalis Gabon.

Berbicara kepada Aljazirah dari Libreville, Lawson mengatakan, upaya kudeta telah menyebabkan kepanikan yang meluas. "Orang-orang takut. Ketika tentara muda meminta semua orang turun ke jalan untuk mendukung kudeta, tidak ada yang melakukannya, karena mereka panik," katanya.

Konsultan keamanan yang berpusat di Kenya Mehari Taddele Maru mengatakan,  paya kudeta menunjukkan rasa frustrasi yang semakin besar terhadap keluarga Bongo, yang telah memerintah negara penghasil minyak sejak 1967. Bongo telah menjadi presiden sejak menggantikan ayahnya, Omar, yang meninggal pada 2009.

"Selama Gabon tetap berada di bawah pemerintahan dinasti, akan ada lebih banyak krisis," kata Mehari.

Para kritikus menuduh keluarga Bongo mengambil untung dari sumber daya alam negara itu, sementara tidak cukup berinvestasi dalam layanan dasar untuk populasi lebih dari dua juta orang. Menurut catatan Bank Dunia, sekitar sepertiga penduduk Gabon hidup di bawah garis kemiskinan.

Bongo terpilih kembali secara pada 2016 setelah pemilihan presiden dinodai oleh kekerasan mematikan dan tuduhan penipuan. Setelah ia jatuh sakit, Mahkamah Konstitusi memodifikasi konstitusi dan mengalihkan sebagian kekuasaan presiden kepada perdana menteri dan wakil presiden. Hal itu dinilai sebagai sebuah langkah yang diserang pemberontak sebagai tidak sah dan ilegal.

Editor Afrika International Marie-Roger Biloa menilai langkah presiden yang turun temurun dipandang sebagai taktik oleh "klan Bongo" untuk mempertahankan kekuasaan atas negara. Menurutnya, alasan utama percobaan kudeta kembali ke 2016 ketika ada pemilihan yang curang, dan tidak ada yang terjadi dan Ali Bongo lolos begitu saja.

"Dia menjadi pemimpin bencana, menikmati bepergian ke seluruh dunia, sambil membiarkan negara di bawah kesia-siaan, semuanya dalam krisis (pendidikan, perawatan kesehatan ) dan orang-orang muda ingin melakukan sesuatu tentang hal itu," ujarnya di Paris.

Uni Afrika dan Prancis mengecam keras upaya kudeta dan memperingatkan terhadap setiap perubahan kekuasaan "tidak konstitusional" di Gabon.

"Uni Afrika mengecam keras upaya kudeta pagi ini di Gabon. Saya menegaskan kembali penolakan AU terhadap semua perubahan anti-konstitusi," ujar Ketua Komisi Uni Afrika, Moussa Faki Mahamat.

Juru bicara Kementerian Luar Negeri Prancis Agnes von der mull mengutuk setiap upaya ekstra-konstitusional untuk perubahan rezim. Prancis, yang pernah memerintah Gabon dari 1885 hingga kemerdekaan pada 1960, memiliki pasukan permanen 300 tentara di Gabon.

Amerika Serikat (AS) juga mengirim sekitar 80 tentara ke Gabon pekan lalu sebagai tanggapan atas kemungkinan kekerasan di Republik Demokratik Kongo setelah pemilihan presiden di sana.

Baca: Gabon Putus Akses Internet Setelah Kudeta Gagal

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement