Selasa 12 Jun 2018 16:55 WIB

Sejumlah Pengamat Masih Ragukan Pertemuan Trump-Jong Un

Komitmen Korut masih harus ditegaskan tak akan bisa dibatalkan.

Rep: Fira Nursya'bani/ Red: Indira Rezkisari
Presiden AS Donald Trump bertemu dengan pemimpin Korea Utara Kim Jong Un di Pulau Sentosa, Singapura, Selasa (12/6).
Foto: AP Photo/Evan Vucci
Presiden AS Donald Trump bertemu dengan pemimpin Korea Utara Kim Jong Un di Pulau Sentosa, Singapura, Selasa (12/6).

REPUBLIKA.CO.ID, SEOUL -- Sejumlah pengamat mengaku masih meragukan hasil pertemuan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dengan pemimpin Korea Utara (Korut) Kim Jong-un di Singapura. Pertemuan itu dianggap sedikit 'aneh' karena Trump bisa dengan cepat mengklaim ia berhasil menjalin ikatan erat dengan Kim.

Wakil Komandan South Korea First Army yang kini menjabat sebagai penasihat senior Korea untuk Association of the US Army, Jenderal Chun In-bum, menyebut pertemuan bersejarah itu sebagai sebuah 'pertunjukan'. Ia menyatakan keprihatinannya bahwa profil Kim telah meningkat secara signifikan tanpa ada konsesi besar di pihaknya.

Menurutnya, pertunjukkan yang dilakukan Trump sangat menarik. Namun dia mengatakan AS masih perlu mengetahui dengan pasti keinginan Korut untuk berkomitmen terhadap pembongkaran senjata nuklirnya secara komprehensif, dapat diverifikasi, tidak dapat dibatalkan.

"Ada kemungkinan yang sangat besar dan berbahaya, yang mungkin telah direncanakan Kim. Diktator itu bisa muncul dengan reputasi yang kuat selepas KTT, bahkan jika ia tidak mematuhi kesepakatan apapun," ujar Chun dalam sebuah wawancara dengan BBC Radio, Selasa (12/6).

Mantan Duta Besar AS untuk Rusia, Michael McFaul, juga menyampaikan pendapat serupa. "Bagaimana seseorang bisa menjalin 'ikatan spesial' setelah beberapa jam bertemu? Itu sangat aneh bagi saya, terutama dengan seorang diktator Korea Utara," ungkapnya.

Detail dari dokumen yang ditandatangani oleh Trump dan Kim terungkap, yang salah satunya mengatakan Pyongyang telah berkomitmen untuk bekerja sama mengupayakan denuklirisasi lengkap di Semenanjung Korea. Komitmen tersebut adalah komitmen yang sama dengan yang dibuat oleh Kim bersama Presiden Korea Selatan (Korsel) Moon Jae-in dalam Deklarasi Panmunjeom.

Para pengamat sebelumnya telah mengatakan kepada The Independent, Washington dan Pyongyang memiliki definisi yang sangat berbeda dari istilah 'denuklirisasi'. Salah satu mantan pejabat Departemen Luar Negeri AS mengatakan, bagi Korut, denuklirisasi berarti penghapusan ancaman yang ditimbulkan, mengacu pada ribuan pasukan AS yang masih berada di Korsel.

Dalam dokumen yang ditandatangani pada Selasa (12/6) di Singapura, AS dan Korut setuju untuk memulangkan jasad tentara yang hilang dan ditangkap selama Perang Korea. Mereka juga akan membangun hubungan baru dan membangun perdamaian yang langgeng dan stabil.



Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement