Senin 26 Mar 2018 14:28 WIB

Filipina: Sengketa Laut Cina Selatan Jadi Tantangan Keamanan

Filipina memperbaiki hubungan bilateral dengan Cina.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Nur Aini
Pulau di kawasan konflik laut Cina Selatan
Foto: VOA
Pulau di kawasan konflik laut Cina Selatan

REPUBLIKA.CO.ID, MANILA -- Kepala Pertahanan Filipina Delfin Lorenzana mengatakan sengketa klaim atas Laut Cina Selatan masih menjadi tantangan keamanan di kawasan. Sengketa tetap terjadi walaupun terdapat perbaikan hubungan bilateral antara Filipina dengan Cina.

Hal tersebut disampaikan Lorenzana ketika berpidato di pangkalan angkatan laut selatan di Manila pada Senin (26/3). Dalam pidatonya, ia berterima kasih kepada Jepang karena telah menyumbangkan pesawat TC90 kepada Filipina.

Menurutnya, pesawat tersebut akan sangat membantu negaranya dalam memantau dan mengintai wilayah perairan Laut Cina Selatan. "Kita harus mengakui bahwa masih banyak yang harus dilakukan untuk meningkatkan kapabilitas militer kita untuk menghadapi sejumlah tantangan keamanan maritim yang gigih," kata Lorenzana, mengacu kepada sengketa dan perselisihan di Laut Cina Selatan.

Angkatan Laut Filipina mengatakan pihaknya juga telah menyiapkan anggaran sebesar 114 juta dolar AS guna meningkatkan kapabilitas kemaritimannya. Dana tersebut nantinya akan digunakan membeli dua pesawat patroli jarak jauh guna meningkatkan kemampuan intelijen, pengawasan, dan pengintaian.

Ketegangan antara Filipina dan Cina terkait sengketa di Laut Cina Selatan mereda sejak Rodrigo Duterte menjabat sebagai presiden pada Juli 2016. Duterte diketahui meningkatkan hubungan bilateral dengan Cina dengan mengizinkan Beijing berdagang serta berinvestasi di negara tersebut.

Laut Cina Selatan merupakan wilayah perairan strategis yang berbatasan dengan Brunei Darussalam, Filipina, Indonesia, Malaysia, Singapura, Vietnam, dan Cina. Cina mengklaim hampir seluruh wilayah perairan tersebut sebagai teritorialnya. Tumpang tindihnya klaim atas wilayah perairan tersebut menyebabkan potensi pecahnya konflik cukup tinggi.

Salah satu upaya untuk menghindari konflik akibat aksi saling klaim, Cina dan ASEAN telah mengeluarkan Declaration on Conduct of the Parties in the South China Sea (DOC) yang ditandatangani di Kamboja pada 4 November 2002. Deklarasi itu memuat komitmen negara-negara ASEAN dan Cina untuk mematuhi prinsip-prinsip hukum internasional, menyelesaikan sengketa secara damai, dan menahan diri dari tindakan yang dapat meningkatkan eskalasi konflik.

Pada 2011, Cina dan ASEAN kembali berhasil menyepakati Guidlines for the Implementation of the DOC. Kesepakatan itu menandai dimulainya pembahasan awal mengenai pembentukan Code of Conduct (COC) di Laut Cina Selatan. Fungsinya adalah menghadirkan mekanisme operasional pencegahan konflik dan bertujuan mengatur tata perilaku negara secara efektif.

Pada Juli 2017, Indonesia telah mengubah nama zona ekonomi eksklusifnya di Laut Cina Selatan menjadi Laut Natuna Utara. Keputusan tersebut dipandang sebagai tindakan perlawanan yang signifikan terhadap ambisi teritorial Cina di Laut Cina Selatan.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement