Sabtu 09 Jun 2018 11:17 WIB

Biksu Garis Keras Myanmar akan Tetap Serang Rohingya

Facebook telah mengidentifikasi Thuseitta sebagai tokoh yang menebarkan kebencian

Ratusan Biksu Budha Myanmar menggelar demontrasi menolak keberadaan Muslim Rohingya.
Foto: Sakchai Lalit/AP
Ratusan Biksu Budha Myanmar menggelar demontrasi menolak keberadaan Muslim Rohingya.

REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Para biksu garis keras Myanmar menolak seruan Facebook yang melarang beberapa nasionalis Buddha menggunakan akun media sosial itu untuk menyampaikan pesan-pesan kebencian yang menargetkan Muslim Rohingya. Para biksu ini mengaku akan tetap menggunakan Facebook untuk menyampaikan aspirasi mereka.

Pejabat Perserikatan Bangsa Bangsa yang menyelidiki kemungkinan genosida di Myanmar mengatakan Facebook telah menjadi sumber propaganda terhadap minoritas di sebuah negara. Facebook telah menjadi alat komunikasi yang hampir tersebar di mana-mana.

Para biksu dan aktivis nasionalis Myanmar, telah berbagi retorika kekerasan dan kebencian di Facebook yang menargetkan minoritas. Mereka menyebut minoritas sebagai imigran gelap. "Ini adalah pelanggaran kebebasan berekspresi," kata, seorang anggota Serikat Patriotik Myanmar Monks Union,Thuseitta.

Facebook telah mengidentifikasi Thuseitta sebagai tokoh yang menebarkan kebencian. "Kami akan tetap menggunakan Facebook dengan nama dan akun yang berbeda untuk mengatakan kebenaran kepada orang-orang," tambahnya seperti ditulis Reuters.

Pinnyawenta, biksu lain dari serikat pekerja mengatakan dia telah mendaftar lagi dengan nama lain dan akan terus menulis tentang kebenaran di media sosial tersebut. Akun Pinnyawenta dinonaktifkan pada Mei lalu setelah Facebook berulang kali memintanya untuk menghapus beberapa postingan.

Dalam sebuah pesan email, Facebook mengatakan pihaknya berinvestasi lebih banyak untuk Myanmar. Facebook mengaku berusaha memahami dan menanggapi tantangan di Myanmar.

"Selalu ada lagi yang bisa kami lakukan untuk mengatasi para pelanggar berulang ini, dan kami berkomitmen untuk meningkatkan alat deteksi kami untuk menghapusnya dari Facebook secepat mungkin," kata perusahaan itu.

Perusahaan yang berbasis di California ini akan berinvestasi lebih banyak dalam kecerdasan buatan untuk berurusan dengan bahasa di Myanmar. "Langkah itu telah menyebabkan penghapusan banyak konten yang berbahaya dan melanggar", katanya.

Seorang manajer Phandeeyar yang berbasis di Yangon,Ei Myat Noe Khin,mendorong Favebook untuk mempekerjakan lebih banyak orang yang tidak memihak dan memahami Myanmar dengan baik.Ei Myat membantu Facebook menerjemahkan standar bahasa Burmese.

"Itu akan menjadi satu-satunya cara bagi Facebook untuk mengatasi akun yang memicu kekerasan, kerusuhan dan konflik, tambahnya.

Hampir 700 ribu Muslim Rohingya telah melarikan diri ke Bangladesh, menyusul tindakan keras militer setelah serangan pemberontak Rohingya Agustus lalu.

Washington menyebut tindakan yang dilakukan militer Myanmar sebagai pembersihan etnis. Namun Myanmar membantah hal ini. Myanmar, mengatakan pasukan keamanannya telah melancarkan operasi kontra-pemberontakan yang sah.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement