Sabtu 30 Jun 2018 07:30 WIB

MoU Repatriasi Rohingya tak Jamin Kebebasan di Luar Rakhine

Muslim Rohingya tak akan mendapat jaminan keamanan dan kewarganegaraan.

Rep: Rizkyan Adiyudha/ Red: Ratna Puspita
[Ilustrasi] Pengungsi Rohingya melintas membawa karung bantuan pangan dari lembaga donor di Kamp Pengungsi Rohingya di Propinsi Sittwe, Myanmar.
Foto: Edwin Dwi Putranto/Republika
[Ilustrasi] Pengungsi Rohingya melintas membawa karung bantuan pangan dari lembaga donor di Kamp Pengungsi Rohingya di Propinsi Sittwe, Myanmar.

REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Minoritas etnis Muslim Rohingya tidak akan mendapatkan jaminan keamanan dan kewarganegaraan saat kembali ke Myanmar. Hal itu didapatkan berdasarkan perjanjian yang dibentuk antara pemerintah Myanmar dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) secara rahasia.

PBB telah menyepakati sebuah perjanjian dengan Myanmar pada akhir Mei lalu. Kantor berita asal Inggris, Reuters, yang melihat nota kesepahaman tersebut menurunkan melaporkan pada Sabtu (30/6), perjanjian berisi pemulangan ratusan ribu warga Rohinya yang mengungsi ke Bangladesh. Perjanjian antara PBB dan pemerintah Myanmar itu telah bocor di jagad maya.

PBB meminta mereka kembali secara aman dan berdasarkan pilihan pribadi. Kendati demikian, repatriasi tersebut tanpa mendeskripsikan proses pemulangan para pengungsi secara lebih rinci. 

Nota kesepahaman memang bertuliskan para pengungsi akan mendapatkan kebebasan pergerakan di Rakhine State sesuai dengan hukum dan regulasi yang berlaku. Namun, MoU itu tidak menjamin kebebasan yang dimaksud di luar perbatasan Rakhine. Hal tersebut membuat para pengungsi yang kembali ke Myanmar tidak mendapatkan kebebasan bergerak di luar kawasan Rakhine. 

Belum ada pernyataan resmi dari pemerintah Myanmar terkait hal tersebut. Amnesty International pun bereaksi atas perjanjian itu.

“Jika seperti itu, memulangkan Rohingya ke Rakhine berarti mengembalikan mereka ke kawasan apartheid dimna mereka tidak dapat bergerak bebas dan kesulitan untuk mengakses sekolah, rumah sakit serta pekerjaan," kata peneliti Amnesty International di Myanmar Laura Haigh.

Kewarganegaraan dan pegembalian hak para pengungsi merupakan inti dari perjanjian selama negosiasi kesepakatan. Hal terebut dilakukan agar konflik yang terjadi di Rakhine segera teratasi.

 

 

 

 

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement