Kamis 25 Jul 2019 08:20 WIB

Militer Myanmar Terus Membakari Permukiman Rohingya

Militer menyisir seluruh lanskap dan menghanguskan setiap desa yang mereka lewati.

Seorang bocah pengungsi Rohingya memasuki masjid darurat untuk mengikuti Shalat Jumat  di Kamp Pengugsi Kathmandu, Nepal, Jumat (18/5).
Foto: Niranjan Shrestha/AP
Seorang bocah pengungsi Rohingya memasuki masjid darurat untuk mengikuti Shalat Jumat di Kamp Pengugsi Kathmandu, Nepal, Jumat (18/5).

REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Pembakaran desa-desa Rohingya masih terus dilakukan Myanmar, yang terungkap dari analisis citra satelit. Kondisi ini menyebabkan keraguan lebih dalam atas kesiapan Myanmar menerima kembali warga Rohingya.

Saat ini sekitar 700 ribu warga Rohingya berada di kamp-kamp pengungsian Cox’s Bazar, Bangladesh. Mereka melarikan diri dari Rakhine akibat kekerasan militer Myanmar di Negara Bagian Rakhine pada Agustus 2017. PBB menyebutnya sebagai aksi genosida.

Sebuah laporan dari Australian Strategic Policy Institute (ASPI) yang dilansir Guardian, Rabu (24/7), mengungkapkan bahwa pembakaran desa-desa Rohingya di Rakhine berlanjut hingga tahun ini. Sekitar 58 permukiman Rohingya menjadi target penghancuran pada 2018.

Berdasarkan citra satelit, pembakaran dan penghancuran desa-desa Rohingya juga terjadi pada 2019. "Hal paling mengejutkan saya adalah skalanya," kata Nathan Ruser, salah seorang penulis laporan yang dirilis oleh ASPI.

Tidak hanya desa atau rumah tertentu yang dibakar pada 2018 dan 2019. Militer menyisir seluruh lanskap dan menghanguskan setiap desa yang mereka lewati. Karena itu, masih terjadi pembakaran dan penghancuran area permukiman Rohingya.

Di sisi lain, lebih dari 320 permukiman Rohingya yang hancur saat kekerasan pada 2017 juga tak terlihat tanda-tanda akan dibangun kembali. Padahal, Myanmar menyatakan pengungsi Rohingya diizinkan kembali ke desa asalnya.

Laporan ASPI mengungkapkan, data dan citra satelit menimbulkan keraguan bahwa Myanmar siap menerima Rohingya. "Justru kami menemukan masih berlangsungnya perusakan permukiman Rohingya."

Laporan itu pun menyebutkan, selain masih terjadi pembakaran desa Rohingya di Rakhine, persiapan menerima kembali warga Rohingya yang direpatriasi dari Bangladesh masih minim. "Kami tak menemukan bukti mereka siap-siap menyambut pengungsi Rohingya. Tindakan ini ditempuh militer untuk menciptakan dalih bahwa tidak ada wilayah yang bisa dihuni kembali Rohingya yang pulang dari pengungsian di Bangladesh."

Utusan khusus Sekretaris Jenderal PBB untuk Myanmar Christine Schraner Burgener mengatakan, situasi di Rakhine tak kondusif untuk repatriasi pengungsi Rohingya. Hal itu dia sampaikan saat bertemu Menteri Luar Negeri Bangladesh Shahidul Haque pada Selasa (23/7).

Dalam pertemuan itu, Burgener menyampaikan tentang hasil kunjungannya selama 10 hari ke Myanmar yang dimulai sejak 9 Juli lalu. Saat berada di negara tersebut, ia bertemu menteri, pejabat pemerintah, perwakilan masyarakat sipil, dan berbagai badan PBB.

Dia hanya dapat mengunjungi tempat-tempat yang telah ditentukan oleh Pemerintah Myanmar. Menurut para pejabat Bangladesh, dalam pertemuan itu Haque kemudian bertanya apakah keadaan di sana tidak kondusif untuk proses repatriasi pengungsi Rohingya.

Burgener setuju bahwa situasinya tidak kondusif bagi pengungsi Rohingya untuk kembali. Dalam pertemuan itu, Haque dan Burgener pun sempat terlibat perdebatan. Hal itu bermula ketika Haque menanyakan mengapa Burgener tidak pergi ke kamp di Cox’s Bazar.

"Kecuali berbicara dengan Rohingya, Anda tidak akan tahu apakah mereka ingin kembali atau tidak. Anda tidak akan tahu apa yang sebenarnya mereka inginkan," ujarnya.

Burgener tak menanggapi pertanyaan tersebut. Dia hanya berkata, “Percayalah, saya ingin membantu Bangladesh.” Namun, Haque menanggapi pernyataan Burgener secara dingin. “Apakah kami meminta bantuan Anda? Bantu Rohingya, itu sudah cukup,” ujarnya. n kamran dikarma/rizky jaramaya/reuters, ed: ferry kisihandi

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement