Jumat 17 Feb 2017 07:31 WIB

Garis Keras Israel Senang Trump tak Dukung Solusi Dua Negara

Presiden Donald Trump dan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dalam konferensi pers bersama di Ruang Timur Gedung Putih, Washington, Rabu (15/2).
Foto: AP
Presiden Donald Trump dan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dalam konferensi pers bersama di Ruang Timur Gedung Putih, Washington, Rabu (15/2).

REPUBLIKA.CO.ID, YERUSALEM -- Kelompok politik kanan keras Israel, yang juga sekutu Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, pada Kamis (16/2) menyambut perubahan sikap Amerika Serikat terhadap kemerdekaan negara Palestina dan penyelesaian dua negara.

Dalam tatap muka pertama dengan Netanyahu pada Rabu, Presiden Amerika Serikat Donald Trump menarik keterikatan Amerika Serikat terhadap penyelesaian dua negara atas sengketa Israel dengan Palestina, yang selalu menjadi sandungan kebijakan Washington di Timur Tengah.

Presiden dari Partai Repubik itu mengaku akan menerima apa pun perdamaian, yang disepakati Israel dengan Palestina, baik dua maupun satu negara. "Saya setuju saja dengan kedua pilihan itu," kata Trump.

Saat menanggapi pernyataan tersebut, partai garis keras Jewish Home, yang saat ini anggota koalisi pemerintahan Netanyahu, mengaku berjasa. "Apa yang kami lalukan tentu saja membantu perubahan keadaan," kata Menteri Kehakiman Ayelet Shaked dari Jewish Home kepada stasiun radio milik militer.

Dia mengaku telah mendesakkan agenda kepada Netanyahu menjelang keberangkatan ke Amerika Serikat. Sementara itu, ketua Partai Jewish Home Naftali Bennet, seorang yang merekomendasikan agar Israel merampas tanah di Tepi Barat yang sedianya akan menjadi wilayah negara Palestina di masa depan juga senang dengan pernyataan Trump.

"Bendera Palestina telah diturunkan dan diganti dengan bendera Israel," kata Bennett di akun Facebook.

Sebelum Netanyahu terbang ke Washington, Bennet mengatakan ]"bumi akan berguncang" jika sang perdana menteri menyebut kata "dua negara" ataupun "Palestina" saat bertemu Trump. Netayahu kemudian menuruti seruan Bennett.

Netanyahu, yang pernah mendukung kemerdekaan Palestina secara bersyarat pada 2009, tidak secara eksplisit menolak berdirinya negara Palestina saat bertemu Trump. Namun dia menghindari penggunaan istilah "dua negara" dalam pidatonya.

Pengamat politik, Sima Kadmon, mengatakan bahwa kelompok ekstrim kanan memang punya alasan untuk bergembira. "Netanyahu mendapatkan apa yang dia mau dari presiden Amerika. Satu negara, dua negara, apa bedanya? Ini adalah apa yang diinginkan Netanyahu dari sang presiden, seseorang yang sama sekali tidak mengerti apa yang dia katakan sendiri," kata Kadmon.

Dari sisi Palestina, mereka mengaku khawatir atas perubahan sikap Amerika Serikat. Dalam pernyataan tertulis, Presiden Mahmoud Abbas menegaskan keterikatannya pada penyelesaian dua-negara dan meminta Israel menghentikan pembangunan permukiman Yahudi di wilayah Palestina.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement