REPUBLIKA.CO.ID, BAGHDAD -- PM Irak mengutuk eksekusi yang dilakukan pemeritah Arab Saudi, termasuk pada ulama Syiah Nimr al-Nimr. Eksekusi yang dilakukan Sabtu (2/1) membuat Irak menyerukan pemutusan hubungan dengan Riyadh.
(Baca: Saudi Eksekusi Mati 47 Orang dan Seorang Ulama Syiah)
Negara yang didominasi Sunni ini membuka kembali kedutaan besarnya di Baghdad pekan ini untuk pertama kalinya sejak hubungan terputus di 1990 akibat invasi Irak di Kuwait. Pembukaan kembali kedutaan dipandang sebagai bentuk kompaknya Arab melawan ISIS.
(Baca: Fakta tentang Ulama Syiah Nimr Al Nimr)
Eksekusi Nimr namun membuat Irak memutuskan kedutaan akan tetap ditutup. PM Haider al-Abadi pun mengingatkan akan ketegangan di kawasan regional.
"Saya desak pemerintah menahan pembukaan kedutaan Saudi," ujar ulama Syiah Irak Moqtada al-Sadr. Ia pun mengajak berunjuk rasa dilakukan di sepanjang Timur Tengah sebagai bentuk protes eksekusi.
Pemimpin kelompok paramiliter yang berkaitan dengan Iran, Qassim al-Araji, meminta pemerintahnya memutus hubungan diplomatik dengan Arab Saudi. Katanya eksekusi Nimr membuka gerbang neraka.
(Baca Juga: Pengunjuk Rasa Iran Serbu Kedubes Arab Saudi).
Sementara anggota kelompok syiah moderat Abadi yang partainya berkaitan dengan Iran mengatakan eksekusi Nimr akan menimbulkan konsekuensi. "Yang hanya akan berujung pada lebih banyak kerusakan."
Arab Saudi mengeksekusi 47 orang termasuk Nimr. Eksekusi dilakukan karena mereka dituding telah memicu kekerasan terhadap kepolisian. Pendukung Nimr namun menyanggah dengan mengatakan Nimr adalah pecinta damai yang mendahulukan kepentingan minoritas Syiah, dikutip dari Reuters, Ahad (3/1).