REPUBLIKA.CO.ID,RIYADH--Dewan Kerja Sama Teluk (GCC) hari Minggu mendesak Presiden Yaman Ali Abdullah Saleh melakukan transisi damai kepada wakilnya, kata ketua GCC Abdullatif al-Zayani setelah pertemuan di Riyadh. GCC, yang mencakup Kuwait, Qatar dan Arab Saudi serta Bahrain, Oman dan Uni Emirat Arab, meminta Saleh "mengumumkan peralihan kekuasaan kepada Wakil Presiden" Abdrabuh Mansur Hadi, kata Zayani.
Mereka juga mendesak pembentukan "sebuah pemerintah persatuan nasional yang dipimpin oleh oposisi" yang akan bertanggung jawab "menyusun konstitusi dan mengatur pemilihan umum", katanya. Saleh hari Jumat menolak usul pengunduran dirinya yang disampaikan oleh perdana menteri Qatar dan menyebutnya sebagai "campur tangan yang mencolok atas permasalahan Yaman".
Seruan GCC bagi peralihan kekuasaan di Yaman itu disampaikan ketika kekerasan masih terus berlangsung di negara tersebut.
Sedikitnya satu pemrotes anti-pemerintah tewas dan puluhan lain tertembak di kota-kota Taez dan Sanaa. Tiga orang lagi tewas, termasuk seorang aparat intelijen dan seorang prajurit, di provinsi Abyan, markas Al-Qaeda di Yaman selatan.
Demonstrasi di Yaman sejak akhir Januari yang menuntut pengunduran diri Saleh dikabarkan telah menewaskan sekitar 100 orang. Oposisi Yaman mendesak Saleh mengakhiri kekuasaan tiga dasawarsanya dan menyerahkan wewenang kepada deputinya untuk periode peralihan, namun usulan itu ditolak oleh pemimpin kawakan tersebut.
Dengan jumlah kematian yang terus meningkat, Saleh, sekutu lama Washington dalam perang melawan Al-Qaeda, tampaknya kehilangan dukungan AS. Pemerintah AS mengambil bagian dalam upaya-upaya untuk merundingkan pengunduran diri Saleh dan penyerahan kekuasaan sementara, menurut sebuah laporan di New York Times, Minggu.
Para pejabat AS menganggap posisi Saleh tidak bisa lagi dipertahankan karena protes yang meluas dan ia harus meninggalkan kursi presiden, kata laporan itu. Perundingan mengenai pelengserannya telah dilakukan selama lebih dari sepekan.
Meski demikian, Washington memperingatkan bahwa jatuhnya Saleh selaku sekutu utama AS dalam perang melawan Al-Qaeda akan menimbulkan "ancaman nyata" bagi AS. Yaman adalah negara leluhur pemimpin Al-Qaeda Osama bin Laden dan hingga kini masih menghadapi kekerasan separatis di wilayah utara dan selatan.
Yaman Utara dan Yaman Selatan secara resmi bersatu membentuk Republik Yaman pada 1990 namun banyak pihak di wilayah selatan, yang menjadi tempat sebagian besar minyak Yaman, mengatakan bahwa orang utara menggunakan penyatuan itu untuk menguasai sumber-sumber alam dan mendiskriminasi mereka. Presiden Yaman Ali Abdullah Saleh mendesak rakyat Yaman tidak mendengarkan seruan-seruan pemisahan diri, yang katanya sama dengan pengkhianatan.
Negara-negara Barat, khususnya AS, semakin khawatir atas ancaman ekstrimisme di Yaman, termasuk kegiatan Al-Qaeda di Semenanjung Arab (AQAP). Para komandan militer AS telah mengusulkan anggaran 1,2 milyar dolar dalam lima tahun untuk pasukan keamanan Yaman, yang mencerminkan kekhawatiran yang meningkat atas keberadaan Al-Qaeda di kawasan tersebut, kata The Wall Street Journal bulan September.
Negara-negara Barat dan Arab Saudi, tetangga Yaman, khawatir negara itu akan gagal dan Al-Qaeda memanfaatkan kekacauan yang terjadi untuk memperkuat cengkeraman mereka di negara Arab miskin itu dan mengubahnya menjadi tempat peluncuran untuk serangan-serangan lebih lanjut.
Yaman menjadi sorotan dunia ketika sayap regional Al-Qaeda AQAP menyatakan mendalangi serangan bom gagal terhadap pesawat penumpang AS pada Hari Natal.
AQAP menyatakan pada akhir Desember 2009, mereka memberi tersangka warga Nigeria "alat yang secara teknis canggih" dan mengatakan kepada orang-orang AS bahwa serangan lebih lanjut akan dilakukan. Para analis khawatir bahwa Yaman akan runtuh akibat pemberontakan Syiah di wilayah utara, gerakan separatis di wilayah selatan dan serangan-serangan Al-Qaeda.
Negara miskin itu berbatasan dengan Arab Saudi, negara pengekspor minyak terbesar dunia. Selain separatisme, Yaman juga dilanda penculikan warga asing dalam beberapa tahun ini.