Rabu 13 Apr 2011 14:30 WIB
Pembajakan Kapal MV Sinar Kudus

Dubes Somalia Usul Perundingan Dilakukan Satu Pihak

Perompak Somalia bersenjatakan roket menunggui kapal MV Faina.
Foto: BBC
Perompak Somalia bersenjatakan roket menunggui kapal MV Faina.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Proses perundingan dengan perompak sebaiknya hanya dilakukan oleh satu pihak dan tidak ditambah dengan keikutsertaan pihak lain termasuk media, kata Duta Besar Somalia untuk Indonesia Mohamud Olow Barow di Jakarta, Rabu (12/4). "Negosiasi seharusnya hanya dilakukan oleh satu pihak saja yaitu pemilik kapal, dalam kasus Indonesia adalah PT. Samudera Indonesia demi mengurangi nilai tebusan; pemberitaan media malah dapat mendukung posisi perompak," ujarnya dalam konferensi pers.

Pada 16 Maret 2011 kapal MV Sinar Kudus milik Indonesia berikut 20 anak buah kapal (ABK) warga negara Indonesia disandera perompak asal Somalia yang meminta uang tebusan sebesar 2,6 juta dolar AS dan kemudian naik menjadi 3,5 juta dolar AS (sekitar Rp 31 miliar). Namun ternyata ada kapal Denmark yang bersikukuh hanya membayar satu juta dolar AS --lebih rendah dari tuntutan para perompak-- dan akhirnya dibebaskan setelah satu bulan.

"Sebagian besar memang memutuskan untuk membayarkan uang, namun ada negara seperti Prancis yang tidak pernah melakukan perundingan dengan perompak dan lebih memilih penggunaan tindakan militer, India dan Korea Selatan yang tadinya mau membayar pun sekarang lebih memilih menyerang kapal tersebut," tambah Dubes Barow.

Barow mengungkapkan bahwa 99 persen perompak tidak membunuh sanderanya karena mereka tidak ingin bisnisnya rusak. "Mereka adalah mafia internasional, uang yang didapat bukan hanya dinikmati perompak itu sendiri tapi kelompok lain di luar Somalia yang menyediakan para perompak radio dan peralatan navigasi untuk mencari kapal," jelasnya.

Pemerintah Somalia juga mempersilakan negara lain atau organisasi regional untuk melakukan penyerangan atas perompak Somalia berdasar resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa 1846 tertanggal 2 Desember 2008. "Pemerintah Somalia sudah mengizinkan penyerangan atas perompak sejak 2008 sehingga tidak ada masalah apa pun," ungkapnya.

Bila tertangkap hidup-hidup, para perompak tersebut dapat diadili sesuai dengan hukum negara asal kapal tersebut, negara yang menangkap para perompak maupun dikirim kembali ke Somalia untuk dipenjara. "Daerah Puntland yang merupakan wilayah yang banyak didiami oleh banyak perompak terdapat setidaknya 300 orang bajak laut yang ditahan di penjaranya," ujarnya.

Menurut Dubes Barow mengutip data dari Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO), sudah 50 persen perompak yang dilumpuhkan, baik dibunuh maupun tertangkap. "Somalia tidak lagi memiliki kekuatan Angkatan Laut setelah perang saudara 1991 sehingga kami lebih memilih untuk menjaga di darat sementara di laut silakan pasukan AL negara lain untuk melakukan pengamanan," ujarnya.

Demi mencegah terjadinya penyanderaan, Somalia juga sudah mengizinkan para ABK untuk membawa senjata demi melawan perompak. "Perompak-perompak tersebut murni para preman yang menginginkan uang dan tidak ada hubungannya dengan jaringan pemberontak Al-Shabaab dari Somalia," tambah Barow.

Dalam setiap proses perundingan yang terutama menjadi prhatin, menurut dia, adalah keselamatan nyawa para sandera. "Kita harus sabar dan berdoa serta menyerahkan negosiasi kepada pemilik kapal serta pemerintah dan memang tidak ada tenggat waktu untuk negosiasi seperti itu," jelasnya.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement