Rabu 11 May 2011 13:09 WIB

Kejanggalan Intelejen AS Seputar Usamah dan 9/11 (Bagian 2): Lemahnya Intelejen CIA

Markas besar CIA di Langley, Virginia, AS
Markas besar CIA di Langley, Virginia, AS

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Penyergapan dan pembunuhan Usamah bin Ladin di Pakistan oleh tentara Navy SEALS Amerika Serikat masih menyisakah banyak tanda tanya. Apalagi Pemerintah AS berulang kali mengubah pernyataan terkait penyerangan itu dan informasi seputar Usamah.

Malah sekarang yang menjadi sorotan bagi publik AS adalah Pakistan yang menurut mereka 'menyimpan' Usamah bin Ladin, si biang teror. Bukannya memperjelas informasi soal keterlibatan Usamah dalam berbagai peristiwa teror maupun mempermasalahkan dilanggarnya wilayah kedaulatan Pakistan oleh tentara AS.

Usamah bin Ladin sudah terlanjur kental menjadi sosok teroris, raja teroris malah. Ini gara-gara media internasional percaya begitu saja informasi pemerintah AS bahwa Usamah dan Alqaidah yang paling bertanggungjawab atas serangan ke menara kembar WTC di New York, 11 September 2001.

Sementara sejumlah keganjilan dan suara-suara kritis soal peran Usamah, Alqaidah, maupun intelejen dalam sejumlah peristiwa teror itu kerap terpinggirkan. Untuk memperkaya wawasan terkait teror inilah, Republika mengangkat tulisan dari jurnalis kawakan, Seymour M Hersh. Dalam bukunya Chain of Command yang terbit pada 2005, Hersh menulis sejumlah kejanggalan informasi dan intelejen seputar peristiwa 9/11. Dalam buku ini, Hersh banyak sekali mengutip sumber anonim, karena sensitifnya informasi yang mereka sampaikan.

Berikut petikannya:

Kekuatan Badan Intelejen AS (CIA) pada 2001 ternyata tidak 'sekuat' yang dibayangkan maupun yang mereka gaungkan. Sejak pecahnya Uni Sovyet, menurut Hersh, CIA sudah menjadi badan yang lebih birokratis dan enggan mengambil risiko tinggi. Struktur pejabat CIA banyak dihuni oleh agen intelejen yang seperti ini.

Secara bertahap, CIA mengurangi ketergantungannya dengan mengirim intel langsung ke negara bersangkutan. CIA juga mengurangi intelnya di negara-negara. Terutama intel yang berfungsi merekrut mata-mata lokal.

CIA lebih mengandalkan laporan intelejen dari intelejen negara sahabat maupun dari polisi di seluruh dunia. Menurut Hersh, dengan situasi demikian, sukar bagi CIA untuk kembali menempatkan intelnya di negara-negara.

Padahal, pada masa Perang Dingin dengan Sovyet, intel CIA selalu menyamar jadi diplomat dan pejabat kultural di tiap Kedubes AS di sejumlah negara penting.

Hersh mempercayai, saat serangan WTC, CIA tidak memiliki intel di kelompok Islam ekstrim. Ini dipertegas oleh mantan intel CIA sendiri, Reuel Marc Gerecht, dalam tulisannya di The Atlantic, 2001. Gerecht pernah menjadi pejabat CIA di Timur Tengah. Dia mengutip pernyataan seorang agen CIA, "Hah! Kebanyakan intel CIA itu tinggal di perkotaan di Virginia. Kami tidak melakukan hal-hal itu lagi (menyusup ke kelompok Islam ekstrim)," katanya.

Intel CIA lainnya mengatakan pada Gerecth, "Operasi intelejen yang bisa membuat agen-agen di lapangan terkena disentri tidak pernah terjadi lagi." Reputasi CIA pascaperistiwa 9/11 pun memudar.

Mantan intel CIA yang kenyang bertugas di Timteng secara langsung, Robert Baer, dalam bukunya See No Evil mengungkapkan dengan gamblang bagaimana sukarnya gerak gerik intel di lapangan.

Di pertengahan 1986, Baer bertugas di Khartoum, Sudan.  Di bulan-bulan awal penugasan, aksi intel Baer berlangsung seru. Otoritas penuh ia dapatkan. CIA juga memasok berapapun uang yang ia minta. Tapi lama kelamaan, politik menyusup ke dunia intel. Operasi dibatalkan karena terlalu berisiko. Bahkan operasi yang berhasilpun dicela karena membuat negara tuan rumah kecewa. Agen-agen yang 'mengecewakan' langsung dipindah, bahkan bisa dibunuh. 

Nasib Direktur CIA George Tenet berada di ujung tanduk. Namun untungnya, dia dibela oleh petinggi Gedung Putih. Wapres Dick Cheney mengatakan jangan menjadikan CIA sebagai kambing hitam dalam lolosnya aksi teror di AS.

Salah satu staf Komisi Intel di Senat AS mengatakan, "Sebelum peristiwa 9/11, Direktur CIA George Tenet sudah mendapat info soal Usamah sangat banyak. Tapi dia tidak mengelola informasi itu dengan baik. Dia bahkan tidak bisa mempertimbangkan dari informasi Usamah itu apa yang berbahaya bagi AS."

Tenet lolos dari pemecatan. Tapi tiga tahun setelah 9/11, Tenet mengundurkan diri.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement