Rabu 11 May 2011 15:41 WIB

Kejanggalan Intelejen AS Seputar Usamah dan 9/11 (Bagian 3): Informasi Teror yang 'Diabaikan'

Mantan presiden AS, George W Bush
Foto: AP
Mantan presiden AS, George W Bush

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Penyergapan dan pembunuhan Usamah bin Ladin di Pakistan oleh tentara Navy SEALS Amerika Serikat masih menyisakah banyak tanda tanya. Apalagi Pemerintah AS berulang kali mengubah pernyataan terkait penyerangan itu dan informasi seputar Usamah.

Malah sekarang yang menjadi sorotan bagi publik AS adalah Pakistan yang menurut mereka 'menyimpan' Usamah bin Ladin, si biang teror. Bukannya memperjelas informasi soal keterlibatan Usamah dalam berbagai peristiwa teror maupun mempermasalahkan dilanggarnya wilayah kedaulatan Pakistan oleh tentara AS.

Usamah bin Ladin sudah terlanjur kental menjadi sosok teroris, raja teroris malah. Ini gara-gara media internasional percaya begitu saja informasi pemerintah AS bahwa Usamah dan Alqaidah yang paling bertanggungjawab atas serangan ke menara kembar WTC di New York, 11 September 2001.

Sementara sejumlah keganjilan dan suara-suara kritis soal peran Usamah, Alqaidah, maupun intelejen dalam sejumlah peristiwa teror itu kerap terpinggirkan. Untuk memperkaya wawasan terkait teror inilah, Republika mengangkat tulisan dari jurnalis kawakan, Seymour M Hersh. Dalam bukunya Chain of Command yang terbit pada 2005, Hersh menulis sejumlah kejanggalan informasi dan intelejen seputar peristiwa 9/11. Dalam buku ini, Hersh banyak sekali mengutip sumber anonim, karena sensitifnya informasi yang mereka sampaikan.

Berikut petikannya:

Enam bulan pertama 2001, sebenarnya komunitas intelejen AS sudah mendapat sinyal kuat tentang kemungkinan adanya aksi teror di negara mereka. Termasuk informasi serangan teror itu menggunakan pesawat sipil. Salah satu informasi intelejen itu malah terlebih dulu tiba di meja Badan Penerbangan Sipil AS.

Tercatat ada empat informasi intelejen kemungkinan adanya teror pesawat sipil AS. Salah satu berkas informasi, seperti dikutip Menlu AS saat itu, Condoleezza Rice, adalah sebagai berikut: "Belum diketahui target spesifiknya, belum ada informasi kredibel terkait serangan ke penerbangan sipil AS. Tapi kelompok-kelompok teror diketahui saat ini sedang merencanakan dan melatih orang untuk pembajakan pesawat. Kami meminta pemerintah untuk sangat berhati-hati."

Namun, sekali lagi, imbauan ini didiamkan pemerintah AS. Pascaruntuhnya menara kembar WTC, FBI menemukan bukti bahwa keempat teroris yang membajak pesawat 9/11 beberapa kali naik pesawat berbarengan. Para teroris itu tampak mengecek rute mana yang paling tepat untuk membajak pesawat. Tercatat 12 kali empat teroris ini bepergian bersama. Namun tidak ada peringatan kewaspadaan  terhadap mereka saat itu.

Cara teroris mengecek rute pesawat secara bersama-sama ini dinilai aneh oleh kalangan intelejen. Sebab lazimnya teroris profesional, kegiatan akan dilakukan secara rahasia dan meminimalisasi kemungkinan tertangkap bersama-sama. Apalagi dalam sistem sel yang kerap digunakan oleh kelompok teroris. Dalam kelompok sel itu, sebisa mungkin tiap anggota tidak mengenal anggota lain untuk mencegah risiko ditangkap.

Enam bulan setelah peristiwa 9/11, banyak para penyidik mengatakan pada Hersh, setelah mereka melihat data dan fakta, bahwa gerakan 9/11 bukanlah serangan yang rapi. Ada sejumlah kesalahan fatal yang dilakukan teroris. Namun pemerintah AS tidak tanggap mengenai kesalahan fatal itu.

Pada 2004, Hersh mengaku dihubungi oleh Myron Fuller, mantan agen FBI. Fuller pernah mengelola informasi dari agen FBI yang ada di luar negeri. Ia menangani laporan dari 200 agen di Asia dan Pasifik. Termasuk Pakistan dan Afghanistan.

Menurut Fuller, ia menerima bertumpuk-tumpuk laporan tentang kelompok ekstrimis Islam yang mengancam AS. Laporan ini ia terima sejak 1999. Ia memberi tahu Washington terkait rencana-rencana tersebut. Tapi laporannya tidak digubris.

Seorang staf Komisi Intelejen Senat AS mengatakan memang ada masalah komunikasi antara badan-badan intelejen AS. Masing-masing badan intelejen cenderung menyimpan informasinya rapat-rapat.

Sementara itu, jauh sebelum 2001, intelejen AS sudah mendapat gambaran kemungkinan serangan teror dengan pesawat udara. Pada 1994, teroris Aljazair membajak pesawat Air France. Mereka mengancam akan menabrakan pesawat ke Menara Eiffel, yang jadi kebanggaan Kota Paris. Pada 1995, polisi Manila menggagalkan rencana bom di 12 pesawat AS. Dalam aksi ini, salah satu teroris ternyata pernah sekolah penerbangan di AS. Dia juga berencana menerbangkan satu pesawat kecil berisi penuh bahan peledak dan menabrakannya ke markas CIA.

Pada 1996, Direktur FBI Louis Freeh meminta bantuan aparat Qatar untuk mewaspadai gerakan Khalid Sheikh Mohamed. Khalid adalah salah satu pentolah Alqaidah yang tengah berada di Qatar. Informasi yang didapat Freeh adalah, Khalid merencanakan menyerang pesawat AS. Di penghujung 1999, kelompok yang menamakan dirinya Alqaidah membajak pesawat India hanya dengan senjata pisau. Pesawat dibawa ke Kandahar, Afghanistan.

Begitu juga kebiasaan kelompok teroris menyekolahkan anggota mereka ke sekolah terbang di AS. Pada 1975, Komite Luar Negeri Senat AS menyatakan bahwa teroris Black September 1972 pernah bersekolah pesawat di AS. Hal yang sama juga dilakoni keempat teroris 9/11 yang mendapat pelatihan penerbangan di sekolah di Florida. Mantan direktur distrik Badan Imigrasi dan Naturalisasi AS, Bill Carroll, mengatakan ribuan pemuda Timur Tengah tiap tahunnya dapat dengan mudah masuk ke AS. Mereka belajar bagaimana menerbangkan pesawat.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement