Senin 23 May 2011 06:36 WIB

Bakal Terjadi Perang Saudara, Presiden Yaman Tolak Tandatangani Perjanjian Transisi

Ali Abdullah Saleh
Ali Abdullah Saleh

REPUBLIKA.CO.ID,SANAA--Presiden Yaman Ali Abdullah Saleh menolak menandatangani perjanjian peralihan kekuasaan, Minggu, dengan alasan hal itu akan mendorong negara tersebut ke arah perang saudara. Saleh mengatakan, militan Al-Qaeda mengisi kekosongan politik dan keamanan jika ia dipaksa mundur dan, dalam pidato yang disiarkan televisi, ia menyalahkan oposisi atas kegagalan perjanjian itu.

 

"Jika Yaman terjeblos ke dalam perang saudara, mereka (oposisi) bertanggung jawab untuk itu dan pertumpahan darah," katanya. Perjanjian itu akan membuat Saleh terdongkel dari kekuasaan akibat protes rakyat sejak Januari.

Kegagalan upaya diplomatik gencar untuk mewujudkan perjanjian itu terjadi setelah loyalis bersenjata pro-pemerintah memerangkap duta-duta besar Barat dan Teluk, yang menjadi penengah dalam krisis itu, selama beberapa jam di sebuah kedutaan di Sanaa sebelum mereka pergi dengan helikopter.

"Upaya itu gagal," kata seorang diplomat kepada Reuters setelah perjanjian itu gagal ditandatangani pada saat-saat terakhir, untuk yang ketiga kalinya. Beberapa diplomat mengatakan, lima anggota partai berkuasa menandatangani perjanjian itu, namun Saleh menolak, dengan menuntut ketentuan tambahan.

Negara-negara kaya Dewan Kerja Sama Teluk tetangga Yaman yang memelopori perjanjian itu mungkin akan menarik prakarsa mereka akibat kegagalan tersebut, kata seorang diplomat Teluk.

Perjanjian itu memberi Saleh, yang telah berkuasa selama 33 tahun, kekebalan dari penuntutan setelah pengunduran dirinya. Namun, Saleh menuntut para pemimpin oposisi menandatangani lagi perjanjian itu di depannya. Oposisi menolak permintaan itu dengan alasan mereka sudah menandatanganinya.

Demonstrasi di Yaman sejak akhir Januari yang menuntut pengunduran diri Saleh telah menewaskan lebih dari 175 orang. Dengan jumlah kematian yang terus meningkat, Saleh, sekutu lama Washington dalam perang melawan Al-Qaeda, kehilangan dukungan AS. Pemerintah AS mengambil bagian dalam upaya-upaya untuk merundingkan pengunduran diri Saleh dan penyerahan kekuasaan sementara, menurut sebuah laporan di New York Times.

Meski demikian, Washington memperingatkan bahwa jatuhnya Saleh selaku sekutu utama AS dalam perang melawan Al-Qaeda akan menimbulkan "ancaman nyata" bagi AS. Yaman adalah negara leluhur almarhum pemimpin Al-Qaeda Osama bin Laden dan hingga kini masih menghadapi kekerasan separatis di wilayah utara dan selatan.

Yaman Utara dan Yaman Selatan secara resmi bersatu membentuk Republik Yaman pada 1990 namun banyak pihak di wilayah selatan, yang menjadi tempat sebagian besar minyak Yaman, mengatakan bahwa orang utara menggunakan penyatuan itu untuk menguasai sumber-sumber alam dan mendiskriminasi mereka. Negara-negara Barat, khususnya AS, semakin khawatir atas ancaman ekstrimisme di Yaman, termasuk kegiatan Al-Qaeda di Semenanjung Arab (AQAP).

Negara-negara Barat dan Arab Saudi, tetangga Yaman, khawatir negara itu akan gagal dan Al-Qaeda memanfaatkan kekacauan yang terjadi untuk memperkuat cengkeraman mereka di negara Arab miskin itu dan mengubahnya menjadi tempat peluncuran untuk serangan-serangan lebih lanjut.

Yaman menjadi sorotan dunia ketika sayap regional Al-Qaeda AQAP menyatakan mendalangi serangan bom gagal terhadap pesawat penumpang AS pada Hari Natal.

AQAP menyatakan pada akhir Desember 2009, mereka memberi tersangka warga Nigeria "alat yang secara teknis canggih" dan mengatakan kepada orang-orang AS bahwa serangan lebih lanjut akan dilakukan. Para analis khawatir bahwa Yaman akan runtuh akibat pemberontakan Syiah di wilayah utara, gerakan separatis di wilayah selatan dan serangan-serangan Al-Qaeda. Negara miskin itu berbatasan dengan Arab Saudi, negara pengekspor minyak terbesar dunia. Selain separatisme, Yaman juga dilanda penculikan warga asing dalam beberapa tahun ini.

 

 

sumber : antara/reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement