Selasa 26 Jul 2011 21:17 WIB

Kosovo Berusaha Merebut Pos Perbatasan, Serbia Tebarkan Ancaman

Red: cr01
Polisi Kosovo.
Foto: nato.int
Polisi Kosovo.

REPUBLIKA.CO.ID, MITROVICA - Polisi Kosovo berusaha merebut beberapa pos perbatasan di daerah utara yang dikuasai Serbia, yang memicu Serbia memperingatkan bahwa tindakan itu dapat meningkatkan ketegangan antar kedua negara.

Tindakan itu adalah yang terbaru dari Pristina (ibukota Kosovo) terhadap bekas penguasanya setelah negara itu melarang semua impor dari Serbia pekan lalu. "Situasi ini sangat berbahaya," kata Oliver Ivanovic, Menteri Luar Negeri Serbia urusan Kosovo, Selasa (26/7).

Ahad malam pekan lalu, pasukan polisi khusus Kosovo berusaha merebut tiga pos perbatasan di Kosovo utara yang tidak masuk dalam daerah kekuasaan pemerintah negara baru ini. Mereka berhasil merebut satu dari dua perlintasan jalan utama dari Serbia ke Kosovo. Namun penduduk lokal Serbia memblokir jalan itu dari perlintasan perbatasan kedua.

"Ini bukan tindakan terhadap penduduk lokal di sana... tetapi adalah kebijakan kami untuk menjalani norma hukum, menguasai perlintasan-perlintasan perbatasan kami dan juga untuk mempertahankan satu sistem ekonomi yang tidak berfungsi di daerah itu selama beberapa tahun," kata Wakil Perdana Menteri Kosovo, Hajredin Kuci.

Seorang polisi Kosovo cedera akibat ledakan granat pada Senin (25/7) malam. Pasukan perdamaian NATO masih memantau Kosovo lebih dari 10 tahun setelah berakhirnya perang di sana.

Pasukan ini dikerahkan sebagai penyanggah antara kedua pihak. "Kami telah mengerahkan banyak pasukan di semua daerah untuk menenangkan situasi. Jika ada aksi kekerasan kami akan turun tangan," kata Juru Bicara NATO, Hans Dietr Wichter.

Di Mitrovica, sebuah kota yang terbelah dua oleh Sungai Ibar antara etnik Albania dan etnik Serbia, pasukan NATO memblokir satu jembatan yang memisahkan dua pihak dengan kendaraan-kendaraan lapis baja.

Kosovo mendeklarasikan kemerdekaannya tiga tahun lalu, tetapi tetap dilanda kemiskinan, tingkat pengangguran yang tinggi, korupsi dan kejahatan, kendati mendapat dukungan kuat dari sebagian besar negara-negara Uni Eropa dan Amerika Serikat.

Serbia kehilangan kekuasaannya atas Kosovo—negara berpenduduk 1,7 juta jiwa yang dianggap sebagai tempat kelahiran Kristen Ortodoks—pada 1999 ketika NATO mengebom untuk menghentikan pembunuhan terhadap etnik Albania.

Ketegangan etnik tetap tinggi di bagian utara negara itu, tempat di mana 60.000 warga Serbia-Kosovo yang tidak mengakui negara Kosovo dan menganggap Beograd sebagai ibukota mereka. Tindakan pemerintah Kosovo untuk menguasai pos-pos itu berisiko karena melibatkan pasukan di daerah yang dihuni warga Serbia.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement