Rabu 10 Aug 2011 13:28 WIB

Isi Pikiran Kebencian Ultra-Kanan Inggris Menurut Penuturan Mantan Neo-Nazi

Matthew Collins, mantan rasis ultra kanan yang berbalik menjadi aktivis anti-fasis
Foto: Onislam.net
Matthew Collins, mantan rasis ultra kanan yang berbalik menjadi aktivis anti-fasis

REPUBLIKA.CO.ID, Sebuah buku ditulis oleh aktivis anti-fasis Inggris baru-baru ini diterbitkan. Si pengarang, Matthew Collins, dulunya beraliran ultra-kanan dan dalam bukunya ia menuturkan isi pikiran dan kebencian grup-grup ultra-kanan di Inggris.

"Pemerintah tak akan menanggapi Liga Pertahanan Inggris (EDL) dengan serius," ujar penulis buku "Kebencian: Hidup Saya di Dalam Ultra-Kanan Inggris,", Selasa (9/8). "Ini adalah orang-orang kelas pekerja yang kehabisan harapan dan pemahaman," ujarnya.

Saat Collins berusia 15 tahun, ia berada di inti lingkaran grup ultra-kanan di Inggris. Ia bergabung dengan Front Nasional (NF) cabang selatan London.

Collins juga pernah menjadi relawan di kantor pusat Partai Nasional Inggris (BNP) dan juga aktif dalam aksi kekerasan bersama pejuang jalanan neo-Nazi, Combat 18. Nomor 1 menyimbolkan huruf pertama dalam alfabet 'A' dan 8 untuk 'H' yang berarti Adolf Hitler.

Menarik pemuda terutama dari keluarga berantakan, NF menyodorkan ketangguhan, kekerasan, namun seringkali figur-figur pria kebapakan. "Ultra-kanan memberi saya lingkungan aman," aku Collins.

"Memang banyak kekerasan, namun mereka menghargai saya, membuat saya merasa penting," ujarnya. "Partai Buruh tak pernah mengetuk pintu kami," ujarnya. Menjadi Nazi, Collins mengaku saat itu ia memiliki perasaan kuat yang sangat intens.

"Anda akan membuat orang-orang ketakutan," ujarnya. "Anda bisa merasa bagaimana anda secara fisik mengintimidasi oran lain." Namun hari-harinya bersama ultra-kanan hanya berjalan singkat.

Pada 1989 ketika BNP melakukan gangguan terhadap pertemuan publik di Welling, pandangan Collins terhadap BNP berubah sepenuhnya. "Saya tidak bisa melihat apa hubungan antara kebebasan berbicara, berjuang untuk demokrasi Inggris dengan menginjak kepala-kepala wanita-wanita kecil," ujar Collins.

"Itu benar-benar kebencian murni. Saya mulai melihat itu sebagai upaya menghancurkan hidup orang lain. Kekerasan hanya satu-satunya cara yang mereka gunakan untuk perubahan," tuturnya.

"Saya berdiri di perpustaan melihat orang-orang ditendang kepalanya gara-gara menghadiri debat dan diskusi. Saat itu juga saya berpikir, saya di pihak yang salah."

Ancaman di Inggris.

Memahami bagaimana isi pikiran golongan ultra-kanan, Collin memperingatkan adanya ancaman kian nyata dibalik kebencian anti-Islam yang mendominasi mentalitas Nazi. "Jika itu bukan radikal Islam, maka ia akan mencari sasaran lain," ujarnya.

"Mereka kian dikuasai oleh semangat Nazi yang diusung orang-orang lama BNP, dan NF melihat ini sebagai kesempatan untuk melakukan kekerasan dijalanan seperti dulu lagi, mencari alasan untuk perang sipil rasil, cuma kali ini Kristen melawan Muslim."

EDL, grup ultra-kanan yang muncul ke permukaan pada 2009, telah menggelar berbagai protes untuk menentang gerakan yang mereka klaim "ekstremisme Islam" di Inggris. Kelompok-kelompok ultra-kanan seperti EDL dan BNP memainkan isu imigrasi untuk memercikkan sentimen anti-Muslim dan imigran.

November lalu, polisi Inggris memperingatkan bahwa demonstrasi anti-Muslim yang dilakukan EDL justru mengobarkan semangat ekstremisme dan melukai kohesi sosial di Inggris. Collins juga mengingatkan kemungkinan pengulangan serangan Norwegia di Inggris.

"Pemimpin EDL, Tommy Robinson sendiri berkata di Inggris, ia berjarak lima tahun lebih mundur dari Breivik. "Jadi bila serangan serupa terjadi di sini, saya tak akan terkejut," ujarnya.

Collins pun mendesak otoritas Inggris untuk mengatasi masalah sosial yang membuat pemuda-pemuda Inggris terdorong bergabung dengan grup ultra-kanan.

"Hal terakhir yang bisa kita buat adalah mendengar tuntutan mereka. Namun kita tidak perlu melakukan kesepakatan dengan isu-isu yang mereka usung; identitas, pengasingan, pengkhususan pekerja kulit putih, ketidakpastian kerja," ujarnya.

"Semua orang telah berbicara atau tidak berbicara kepada mereka. Kita harus kian melekat dengan komunitas, mengurangi kebohongan, mengatasi kembali kesenjangan di masyarakat," ujarnya. "Tak ketinggalan kita harus membahas masalah imigrasi dengan layak tanpa menghancurankan harapan pencari suaka," ujarnya.

sumber : Onislam.net
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement