REPUBLIKA.CO.ID, Prancis kini terjerat dalam pemilu presiden yang berdampat besar bagi kelanjutan zona euro. Rakyat mulai terbiasa menyaksikan Presiden Nicholas Sarkozy dikritik parah dalam sejarah oleh sosialis Francois Hollande.
Namun pada Selasa, negara itu bangun lagi terhadap berita bahwa sosok yang diprediksi kalah dan terhapus tiba-tiba memimpin dalam poling, setidaknya di satu poling.
Sejumlah media utama yang sudah siap dengan perubahan di Elysée, mulai menoleh ke satu sama lain dengan keraguan. Dalam ronde pertama, ketika kandidat-kandidat lain bertarung dan saling sikut demi meraih dua posisi teratas, Sarkozy tiba-tiba meraup 28,5 % suara. Sementara Hollande menyusul dengan raihan 27 persen.
Masih empatpuluh hari menunju pemilu dan akhirnya sebuah polling menunjukkan bahwa Sarkozy masih di tempat pertama. "Itu hanya buih," ujar Sarkozy tanpa eksresi.
Bisa jadi suara terhadap Sarkozy kembali menguat karena program kenaikan pajak ambisius yang dijadikan andalah Hollande.
Eelemen penentu terletak pada 75 persen pendapatan pajak bakal diperoleh dari para bos, orang kaya, dan pemimpin perusahaan-perusahaan besar dan bank. Kontan, sorak-sorai pun padam di kalangan pendukungnya.
Dalam poling kedua, Sarkozy kembali dikalahkan dengan hanya 45,5 persen suara sedangkan Hollande memiliki 54,4 persen. Meski, poling putara pertama tetap memberikan seberkas harapan bagi Sarkozy.
Peran Sarkozy bukan hanya untuk Prancis mengingat ia telah menjadikan Jerman sebagai model ekonomi Prancis, meski pola itu membuat pantat pekerja Prancis panas. Prancis ialah kawan dekat Jerman dan telah membuat pakta bersama Kanselor Jerman Angela Merkel.
Merkel tentu saja berkepentingan melindungi kepentingannya, dengan cara mengikat keseimbangan bujet Eropa dalam kesepakatan pakta fiskal. Pakta fiskal telah diteken, tetapi baru akan berlaku di masing-masing negara, ketika pemimpin negara telah mengesahkan dalam undang-undang.
Sementara Hollande, telah bersumpah akan menendang kesepakatan tersebut. Merkel pun meningkatkan taruhannya, segera ia menali tiga sekutu terdekatnya, Italia, Menteri Mario Monti, Perdana Menteri Spanyol, Mariano Rajoy dan Perdana Menteri Inggris, David Cameron.
Mereka semua berasal dari kubu konservatif dan mereka merasa telah di'skandalisasi' oleh rencana Hollande yang ingin merenegosiasikan pakta fiskal. Meski ironis, mengingat PM Cameron menolak meneken pakta tersebut.
Mereka melakukan kesepakatan verbal untuk memboikot Hollande. Moto mereka: tidak memberikan kesempatan. Mereka juga setuju tak menerima Hollande ketika ia berkunjung ke ketiga negara tadi. Sebuah tamparan kotor sekaligus telak ke wajah.