Senin 30 Apr 2012 22:18 WIB

Zionis Galau: Pilih Argentina atau Palestina (3)

Pembagian Palestina, wilayah Yahudi, dan Yerusalem sebagai wilayah internasional (peta)
Foto: news.bbbc.co.uk
Pembagian Palestina, wilayah Yahudi, dan Yerusalem sebagai wilayah internasional (peta)

Manuver Balfour

Masih ingat Deklarasi Balfour, bukan? Di hadapan Kabinet Perang, Balfour berdalih bahwa dukungan ini akan membantu propaganda di Rusia dan Amerika Serikat, agar kedua negara itu mendukung Inggris untuk memenangkan Perang Dunia I. 

Secara politis, Balfour berharap mendulang simpati sehingga populasi Yahudi di kedua negara itu mendesak pemerintah mereka untuk mendukung Inggris. Ramalan ini cukup jitu, terutama lobi kaum Zionis di Amerika Serikat amat kuat. 

Namun pada 1919, dukungan pada Zionisme di Inggris makin melemah. Banyak pendukung Zionisme menyadari bahwa tujuan Zionisme adalah mendirikan negara di atas Palestina. Sebutan national home dalam deklarasi Balfour diterjemahkan menjadi state atau negara. Imigrasi kaum Yahudi ke tanah Palestina pun terus dimobilisasi.

Seiring munculnya gejolak perlawanan di Palestina dan Negara Arab sekitarnya, Inggris memutuskan untuk mulai menjauh dari Zionisme. Mereka juga melihat, bahwa lahan yang tersedia tak lagi mencukupi bagi kedatangan kaum Yahudi. Inggris juga menilai, mereka telah memenuhi janji pada Deklarasi Balfour.

Naiknya Adolf Hitler menjadi Kanselir Jerman pada 1933 meningkatkan imigrasi kaum Yahudi Jerman ke Palestina. Aksi ini mengundang perlawanan bangsa Arab, namun ditumpas pasukan Inggris.

 

Teroris yang jadi Perdana Menteri

Kepentingan atas minyak dunia Arab juga membuat Inggris berpikir ulang mengenai Zionisme. Pada 1939, Inggris mengeluarkan “buku putih” yang menyebutkan bahwa kebijakan Inggris bukanlah menjadikan Palestina sebagai negara bagi kaum Yahudi. 

Langkah ini mengundang reaksi baru dari kaum Zionis. Aksi lewat jalan teror pun dilakukan. Mengutip tulisan Ritchie Ovendale (2002) dalam jurnal akademis yang beredar di Amerika Serikat dan Inggris, Historian, disebutkan bahwa Zionis mendirikan Irgun Zvai Leumi yang bertujuan “melancarkan kampanye teror terhadap populasi Arab”. Hmm... jadi siapakah yang disebut teroris ya?

Pada 1942, Irgun dipimpin Manachem Begin –kelak ia mendapat posisi terhormat sebagai perdana menteri Israel. Serangan pun mulai diarahkan pula kepada lambang-lambang kekuasaan Inggris di Timur Tengah. Inggris pun makin terdesak karena dukungannya pada Zionisme menjadi bumerang. Sementara lobi Zionis terhadap pemerintah AS semakin ditingkatkan, misalnya electoral punishment yang mengancam akan menarik dukungan mereka pada pemilu.

Kemenangan kaum Zionis memang telah di atas angin. Hal ini, tulis Ovendale, didukung oleh mesin propaganda serta akses pada media yang mudah bagi mereka. Bandingkan dengan bangsa Arab yang tak memiliki jalur informasi untuk menyuarakan aspirasi mereka. Kelebihan lainnya adalah dengan menggunakan Holocaust untuk mendulang simpati. 

Setelah menyerahkan mandat Palestina kepada PBB, pada 1947 Majelis Umum PBB pun melakukan voting pemecahan wilayah Palestina. Zionisme meraih kemenangan lewat Resolusi 181 yang dikenal dengan Partition Plan. Tanah Palestina pun terbagi menjadi tiga: wilayah Arab, wilayah Yahudi, dan status Yerusalem di bawah pengawasan internasional. 

Partition Plan mendorong kaum Zionis mendeklarasikan berdirinya negara Israel pada 14 Mei 1948. Hanya butuh waktu 12 menit sejak Israel dideklarasikan, Presiden AS saat itu, Harry S Truman, langsung menghubungi Israel dan menyatakan pengakuan atas berdirinya negara tersebut. 

Namun bagi bangsa Arab, Palestina adalah tanah air mereka, sehingga mereka menolak Resolusi nomor 181. Hingga kini, terlepas dari pengakuan politik dari negara lain, kedudukan Palestina dan Israel tetap tak setara, mengingat secara hukum, status Palestina hingga kini bukan sebuah negara. 

Sementara hingga 1949, angka resmi pengungsi Palestina yang terusir dari negerinya nyaris mencapai 1 juta jiwa. Mereka tertahan di negeri sekitarnya setelah lahan yang mereka tinggali selama ini berada di tangan Israel.

Bagaimana aksi Israel selanjutnya? Holocaust ternyata menjadi komoditas yang laris "dijual" oleh Israel. Negara yang ternasuk di jajaran pemilik militer terkuat di dunia ini berhasil memotret diri sebagai "korban". Gemas? Ulasannya ada di bagian terakhir rangkaian tulisan ini.  

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement