Senin 07 May 2012 17:14 WIB

Setelah 67 Tahun AP Akhirnya Minta Maaf Terkait PD II

Rep: Gita Amanda/ Red: Hazliansyah
Sampul buku
Foto: AP
Sampul buku "Ed Kennedy's War: V-E Day, Censorship, & The Associated Press" yang memuat foto profil wartawan AP, Ed Kennedy saat meliput Perang Dunia II tahun 1944 di Itali.

REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Pada saat-saat terakhir Perang Dunia II di Eropa, koresponden Associated Press Edward Kennedy seharusnya mendapat apresiasi dari kantornya karena telah melaporkan sebuah berita besar. Namun Kennedy justru mendapat surat teguran secara terbuka oleh AP, dan tak lama setelahnya ia diam-diam dipecat.

Dipecatnya Kennedy berawal saat ia melanggar peraturan militer yang memintanya untuk tidak menyiarkan sebuah berita.

Pada 7 Mei 1945, sekitar pukul 02.41 pagi waktu Prancis, Jerman menyerahkan diri di sebuah sekolah di Remis, Prancis. Penyerahan diri Jerman sekaligus menandai berakhirnya Perang Dunia II. Kala itu Kennedy menjadi satu dari 17 wartawan yang menyaksikan langsung peristiwa tersebut. Salah satu syarat para wartawan boleh meliput adalah, mereka tidak boleh menyiarkan berita tersebut hingga diizinkan oleh markas Sekutu.

Pada saat itu Perdana Menteri Inggris Winston Churchill dan Presiden Harry Truman, sepakat untuk menekan berita tersebut untuk tidak terbit selama satu hari. Dengan maksud untuk menunggu diktator Rusia Josef Stalin menggelar upacara penyerahan kedua di Berlin. Awalnya para wartawan diberitahukan untuk tak menyiarkan berita itu dalam beberapa jam. Tapi setelah penyerahan selesai, embargo diperpanjang hingga 36 jam. Yakni pukul tiga sore hari berikutnya.

Meski awalnya tinggal diam, namun sekitar pukul 02.03 malam ia mendengar berita penyerahan diri Jerman diumumkan oleh pejabat Jerman melalui siaran radio Flensburg. Kennedy pun langsung menemui Kepala Sensor Amerika dan mengatakan ia tak bisa terus menuruti embargo untuk tidak melaporkan beritanya.

Ia mengatakan pihak militer juga telah melanggar janji dengan membiarkan radio Jerman mengumumkan peristiwa tersebut. Ia juga merasa tak ada rahasia militer yang dipertaruhkan dalam pemberitaan ini.

Setelah berpikir selama 15 menit Kennedy memutuskan untuk menghubungi kantornya untuk melaporkan berita tersebut. Dengan menggunakan telpon militer, Kennedy mengirimkan laporannya ke kantor biro AP di London.  Namun Kennedy tak menyampaikan pada editornya mengenai perihal embargo tersebut. AP langsung menerbitkan berita besar ini melalui jaringan kawatnya, beberapa menit setelah menerima laporan Kennedy.

Beberapa pesaing Kennedy, menuduhnya melakukan pengkhianatan besar. Tindakan Kennedy menimbulkan kemarahan wartawan lain yang ikut meliput dan memilih untuk menuruti embargo. Koresponden New York Times Drew Middleton menyebut, peristiwa ini penindasan paling kolosal dalam sejarah. Sebab semua media baru boleh menyiarkan berita tersebut keesokan harinya.

Pihak militer kemudian menyampaikan keberatannya atas laporan Kennedy. Ia menganggap Kennedy telah melanggar syarat yang diberikan militer atas izin peliputan langsung tersebut.

Enam puluh tujuh tahun setelah kejadian tersebut, Presiden dan CEO AP Tom Curley meminta maaf pada Kennedy atas perlakuan perusahaan dulu. "Itu adalah hari yang mengerikan untuk AP, Ia ditangani dengan cara yang buruk," Ujar Curley.

Menurut Curley, Kennedy telah melakukan sesuatu yang tepat. Curley juga menolak gagasan AP yang mewajibkan mematuhi perintah embargo berita untuk alasan politik, dan bukan untuk melindungi pasukan. "Setelah perang berakhir, siapa pun tak dapat menahan informasi seperti itu. Dunia perlu tahu," kata Curley.

Kennedy yang tewas dalam sebuah kecelakaan lalu lintas pada 1963 lalu, telah lama mencari pembenaran atas tindakannya. Saat ini Putrinya Julia Kennedy Cochran mengaku gembira dengan permintaan maaf AP. " Saya pikir itu akan sangat berarti bagi dia," ujarnya.

Setelah dipecat oleh AP, Kennedy sempat bekerja sebagai manajer editor di Koran Santa Barbara, California dan penerbit di Monterey Peninsula Herald. Ia meninggal pada usia 58 tahun setelah tersambar sebuah mobil.

sumber : the Huffington post
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement