Jumat 06 Jul 2012 21:43 WIB

Kapan Revolusi Berangkat ke Tanah Suci? (2)

 Presiden AS Barack Obama (kiri) dan Raja Arab Saudi, Abdullah bin Abdul Azis (kanan).
Foto: http://ojeremen.tigblog.org
Presiden AS Barack Obama (kiri) dan Raja Arab Saudi, Abdullah bin Abdul Azis (kanan).

Oleh: Novriantoni Kahar*

Konstalasi internal Saudi dewasa ini

Di dalam buku itu, Madawi menggambarkan dinamika religio-politik internal Saudi saat ini, khususnya setelah peristiwa 11 September 2001 yang melibatkan 15 warga Saudi (dari 19 pelaku teror).

Sejak itu, wacana religio-politik Saudi memanas. Saudi makin tertekan oleh Amerika dan Eropa karena doktrin-doktrin Wahhabisme seperti hijrah, takfir, jihad, dianggap sangat agresif dan melahirkan teror.

Saudi tidak tinggal diam, Kerajaan mengerahkan berbagai upaya untuk menangkis tuduhan-tuduhan tersebut.

Pelbagai konferensi internasional diadakan di Washington, Paris, London, untuk menunjukkan Wahhabisme tidak bersalah. Ideologi kekerasan yang merasuki kaum muda Jihadi Saudi dituduhkan sebagai barang impor dari Ikhwanul Muslimin Mesir atau Suriah.

 

Well, upaya itu tidak banyak bertuah. Menurut Madawi, kaum Jihadi Saudi hanya meneruskan konsekuensi terjauh dari doktrin-doktrin agresif Wahhabisme. Secara statistik, dibanding non-Muslim, korban agresivitas Wahabisme justru lebih banyak dari kalangan umat Islam bersahaja di berbagai belahan dunia.

Tidak hanya akibat Wahhabisme, perpolitikan internal Saudi sendiri juga menyediakan konteks subur untuk tumbuh dan berkembangnya ajaran-ajaran Islam yang intoleran.

 

Sejak tahun 1970-an sudah terjadi perdebatan religio-politik yang sengit di Saudi. Kubu utama Wahhabisme establis yang ultra konservatif secara sosial, agresif secara teologi, dan sangat permisif terhadap kekuasaan Bin Saud merupakan pemandangan utama Saudi.

Bagi kelompok ini, apa pun kebijakan Bin Saud, asal tak menunjukkan kekafiran yang nyata (kufr bawwa) seumpama melarang shalat, dapat saja dibenarkan. Rakyat harus manut kepada wali amar (penguasa), dan kritisisme disepadankan dengan pemberontakan bersenjata.

Jika penguasa melenceng, seperti tunduk-manutnya Saudi kepada Amerika, maka para ulama hanya dibolehkan menasihati mereka secara rahasia. Karena itu, dalam soal kekuasaan, dalil yang berlaku di Saudi bukan wa amruhum syura bainahum (keharusan musyawarah), tapi sirrun bainahum (rahasia di antara mereka).

Ironis, mengaku sebagai negara monoteis, Saudi sebenarnya mengamalkan sekularisme paling kentara di dunia Islam. Dualisme enigmatik ini terjadi: kebijakan politik hanya diurusi penguasa, ulama sepenuhnya hanya berfungsi sebagai pemoles paras Islam agar tampak paling murni.

 

Karena aliansi tidak suci seperti itu, muncullah kelompok Wahhabi-Sahwi (revivalis) yang menginginkan lebih banyak ruang untuk menyalurkan aspirasi sosial politik warga secara damai.

Namun, sebagaimana di negara otoriter manapun, nasib mereka selalu berujung di jeruji penjara. Sampai munculnya kalangan Jihadis, sebagai konsekuensi logis dari mobilisasi jihad melawan ateis Soviet yang digalakkan Saudi dan Amerika di tahun 1979.

Konon, sejak 1980-1990, Saudi secara resmi mengeluarkan US$ 4 miliar untuk jihad di Afganistan. Ini belum ditambah pengeluaran tak resmi dari berbagai lembaga amal dan individu seperti almarhum Usamah bin Laden.

*Dosen Paramadina, Pengamat Timur Tengah

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement