Sabtu 07 Jul 2012 05:56 WIB

Kapan Revolusi Berangkat ke Tanah Suci? (3-habis)

Kota Riyadh, ibukota Kerajaan Arab Saudi.
Foto: happytellus.com
Kota Riyadh, ibukota Kerajaan Arab Saudi.

Oleh: Novriantoni Kahar*

Bersama sekitar 30.000 mantan kombatan Saudi yang disebut Arab-Afgan, Saudi dan Amerika masih menghadapi bumerang.

Mereka yang tadinya didoktrin untuk jihad melawan kafir dan ateis di luar negeri, kini ingin bermain di pekarangan sendiri. Terjadilah apa yang terjadi. Saudi nyaris mengalami jalan buntu untuk memperbaiki diri.

Di satu sisi, kaum Wahhabi establis masih bercokor di birokrasi sosial-keagamaan, kaum Sahwi menuntut perubahan walau tak seradikal Jihadis yang mengafirkan Kerajaan Bin Saud dan ingin mendongkelnya dari kekuasaan.

 

Untunglah muncul cerdik-cendikia yang disebut Salafi-Islahi. Berbeda dengan Salafi-Wahhabi yang ekstrem soal tetek-bengek agama, kelompok ini punya ide Salafisme yang setara dengan pembaru Islam Mesir abad ke-18, Muhammad Abduh.

Mereka ingin menggabungkan kesalehan ala ulama lampau sembari mengembangkan proses-proses pembaruan dalam konteks kekinian. Meski minoritas, kelompok ini kini semakin penting keberadaaannya di Saudi. Pada merekalah Saudi diharapkan mengalami keterbukaan.

Mereka beraspirasi tentang pentingnya Monarki Konstitusional, pembatasan kekuasaan lingkaran internal kerajaan, perumusan aturan suksesi kepemimpinan, partisipasi masyarakat dan perempuan dalam keputusan publik, dan mengembangkan civil society dan Saudi yang terbuka pada keragamaan aspirasi dan budaya.

 

Akomodasi dan resistensi terhadap reformasi

Namun begitu, sekalipun Raja Abdullah sangat akomodatif terhadap reformasi, di kalangan internal kerajaan juga hadir sosok Pangeran Nayef bin Abdul Aziz yang kini menjadi putra mahkota.

Di tangan Pangeran Nayef yang hawkish-Wahabis inilah keterbukaan Raja Abdullah mendapat rintangan nyata. Misalnya, oposisinya yang keras kepala terhadap pemberian peluang kerja kepada hampir 80% perempuan yang sudah memberatkan ekonomi negara. Juga kebijakan main hajarnya terhadap mereka-mereka yang mengusulkan perubahan, sekalipun tidak radikal.

 

Melihat pergulatan internal di Saudi ini, rasanya revolusi belum akan segera naik haji. Keruntuhan rezim Saudi hanya mungkin terjadi bila (1) kepemimpinan rezim Bin Saud makin menjauh dari basis sosial dan tribalnya; (2) Faktor eksternal seperti merenggang atau retaknya hubungan Saudi dengan sekutu terkuatnya (AS); (3). Kehancuran sosial-ekonomi yang berdampak massif; (4). Keretakan lingkungan internal kerajaan, dan; (5). Terjadinya kekerasan yang reguler seperti di tahun 2003 dan 2004.

 

Tapi berdasarkan pertimbangan faktor-faktor lokal, regional, dan internasional, revolusi Saudi tampaknya masih jauh panggang dari api. Fakta bahwa di Saudi tidak wujud civil society sama sekali membuat revolusi virtual Facebook dan Twitter sangat sulit untuk berjejak di Tanah Suci.

Rezim bin Saud memang sedang banyak masalah. Namun, membayangkannya tersapu gelombang revolusi dewasa ini sepertinya belum cukup bukti. Tapi siapa tahu ada kejutan? Ini benar-benar wallahu a’lam.

*Dosen Paramadina, Pengamat Timur Tengah

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement